Wamena- Halo sobat demokrasi, kali kita akan bersama membahas tentang Pemilu 1997. Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif tahun 1997 menjadi suatu momen penting dan kontroversial dalam sejarah politik modern Indonesia. Pemilu ini diselenggarakan pada tanggal 29 Mei 1997, Pemilu 1997 menjadi pemilu terakhir yang diselenggarakan di Era Orde Baru yang pada saat itu dipimpin oleh Presiden Soeharto. Seperti yang sobat demokrasi ketahui, pemilu 1997 juga menjadi pemicu utama arus perubahan politik besar yang kita kenal sebagai Era Reformasi pada tahun 1998.
Baca juga : Evaluasi Pemilu 2024: Pelajaran dan Harapan Menuju Demokrasi yang Lebih Kuat di 2029
Pemilu Terakhir Era Orde Baru
Sejak Pemilu tahun 1971, sistem politik Orde Baru menerapkan sistem yang disebut sebagai sistem partai hegemonik, di mana satu partai- Golongan Karya (Golkar) - mendominasi dan memegang kendali penuh parlemen dan pemerintahan. Pemilu 1997 diselenggarakan dengan semangat yang sama: sebagai ritual lima tahunan untuk memberikan pengesahan kepada kekuasaan Soeharto dan Golkar, alih-alih sebagai kompetisi politik yang benar-benar demokratis.
Mekanisme Pemilu 1997
Pemilu 1997 memiliki mekanisme yang dikontrol ketat oleh pemerintah:
Pemilihan Legislatif Saja: Pemilu ini hanya memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Presiden dan wakil presiden pada pemilu 1997 dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Sidang Umum setahun setelah pemilu legislatif dilaksanakan.
Sistem Proporsional Tertutup: Indonesia pernah menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon tertutup. Artinya, pemilih hanya mencoblos tanda gambar partai, tanpa mengetahui nama calon anggota legislatif yang dipilih. Kursi legislatif dibagikan berdasarkan persentase suara partai di setiap wilayah.
Perwakilan Ganda: Jumlah Anggota DPR pada waktu itu berjumlah 500 orang. Namun, hanya 400 kursi yang dipilih melalui pemilu sedangkan yang 100 kursi lainnya dipilih oleh presiden dari kalangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), sebagai bagian dari konsep Dwifungsi ABRI.
Peserta Pemilu yang Terbatas
Salah satu ciri khas Pemilu Orde Baru adalah pembatasan jumlah partai politik untuk menjaga stabilitas (dan dominasi Golkar). Hanya tiga peserta yang diizinkan ikut serta dalam Pemilu 1997:
Golongan Karya (Golkar) Simbol: Pohon Beringin)
Secara formal, Golkar bukanlah partai politik melainkan Golongan Karya. Golkar didukung penuh oleh birokrasi pemerintahan, militer dan didanai oleh berbagai pengusaha kroni Soeharto.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) (Simbol: Ka'bah)
PPP merupakan fusi dari berbagai partai Islam. Meskipun secara simbolis mewakili kelompok Islam, gerakan dan kritiknya terhadap pemerintah sangat dibatasi.
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) (Simbol: Banteng Moncong Putih)
PDI adalah fusi dari berbagai partai nasionalis dan Kristen/Katolik. Menjelang Pemilu 1997, PDI mengalami konflik internal serius akibat campur tangan pemerintah Orde Baru. Pemerintah mendukung kubu Suryadi dan menolak kepemimpinan sah Megawati Soekarnoputri, yang populer di kalangan rakyat. Hal ini memicu peristiwa "Kudatuli" (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli 1996), yaitu penyerbuan kantor DPP PDI.
Proses Kampanye yang Penuh Ketegangan
Masa kampanye Pemilu 1997 berlangsung dalam suasana yang sangat panas dan penuh konflik:
Mobilisasi Massa yang Masif: Kampanye dilakukan dengan pengerahan massa secara besar-besaran melalui konvoi arak-arak massa di jalanan. Hal ini seringkali memicu bentrokan antar-simpatisan dari PPP, Golkar, dan PDI (kubu Megawati)
Kerusuhan Berdarah: Beberapa kerusuhan kampanye yang paling besar dan berdarah terjadi, seperti di Pekalongan dan yang paling terkenal, Kerusuhan Banjarmasin pada 23 Mei 1997. Kerusuhan ini tidak hanya melibatkan bentok antar-massa partai , tetapi juga pembakaran dan penjarahan, menunjukkan tingginya ketegangan sosial dan politik yang terpendam.
Ketidaknetralan Birokrasi: Aparat negara, termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan sebagian besar ABRI, diarahkan secara struktural untuk memenangkan Golkar. Partai-partai oposisi (PPP dan PDI) memiliki keterbatasan dalam bergerak dan mengkritik kebijakan pemerintah.
Hasil Pemilu yang Prediktif
Hasil Pemilu 1997 tidak mengejutkan dan sesuai dengan pola yang terjadi selama Orde Baru:
Peserta Pemilu
Jumlah Suara Sah
Persentase Suara
Jumlah Kursi DPR
Golongan Karya (Golkar)
84.187.907
74,51%
325
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
25.340.028
22,43%
89
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
3.463.225
3,06%
11
Total Kursi DPR yang Diperebutkan
112.991.137
100,00%
425*
Keterangan:
Golkar meraih kemenangan telak, bahkan dengan persentase tertinggi sepanjang sejarah Orde Baru.
PPP mengalami sedikit peningkatan kursi.
PDI mengalami kekalahan telak (anjlok dari 56 kursi menjadi 11) akibat perpecahan internal yang didorong oleh campur tangan pemerintah, yang membuat kubu Megawati memilih Golput (golongan putih, tidak memilih).
Kritik, Kontroversi, dan Kecurangan
Pemilu 1997 dilingkupi oleh berbagai kritik dan kontroversi yang menunjukkan lemahnya nilai-nilai demokratis:
Dugaan Kecurangan Masif: Banyak laporan dan kesaksian tentang kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif untuk memenangkan Golkar. Ini mencakup intimidasi pemilih, manipulasi data, dan penggunaan fasilitas negara (birokrasi) untuk kampanye Golkar.
Kekerasan Politik: Kerusuhan dan bentrokan massa selama kampanye menunjukkan adanya kekerasan politik yang dibiarkan, bahkan diduga sengaja dimanfaatkan untuk menciptakan ketidakstabilan di tubuh oposisi.
Pembungkaman Oposisi: Konflik PDI dan pemecatan Megawati sebagai Ketua Umum secara ilegal adalah contoh nyata intervensi pemerintah untuk menghilangkan oposisi yang populer.
Pemicu Perubahan Politik 1998
Meskipun Golkar memenangkan Pemilu 1997 secara besar-besaran, hasil ini justru menjadi bom waktu bagi rezim Orde Baru:
Kemarahan Rakyat: Tingkat kesadaran kritis masyarakat yang semakin tinggi (terutama mahasiswa) melihat Pemilu 1997 sebagai sandiwara yang menegaskan ketidakadilan politik dan otoritarianisme Orde Baru. Kecurangan yang terang-terangan dan kekerasan dalam kampanye memicu kemarahan publik.
Krisis Ekonomi Asia 1997: Bersamaan dengan hasil pemilu yang kontroversial, Indonesia diterpa Krisis Moneter Asia pada pertengahan 1997. Krisis ini menghancurkan perekonomian, menyebabkan kenaikan harga, PHK massal, dan meningkatnya kemiskinan.
Legitimasi yang Runtuh: Ketika Soeharto kembali dilantik sebagai Presiden hasil kemenangan Golkar di Pemilu 1997 (melalui Sidang Umum MPR 1998), legitimasi politiknya sudah rapuh akibat krisis ekonomi dan dugaan kecurangan pemilu.
Kombinasi antara ketidakadilan politik (Pemilu 1997) dan krisis ekonomi (Krisis Moneter 1997) memicu gelombang besar demonstrasi mahasiswa pada awal 1998, yang berujung pada Kerusuhan Mei 1998 dan akhirnya pengunduran diri Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, menandai berakhirnya era Orde Baru dan dimulainya Era Reformasi.
Dampak Pemilu 1997 terhadap Sistem Pemilu Indonesia
Pemilu 1997 menjadi pelajaran pahit yang memicu perubahan mendasar dalam sistem pemilu di Indonesia pada era Reformasi:
Multipartai: Sistem tiga partai dihapuskan. Pemilu 1999, Pemilu pertama di era Reformasi, diikuti oleh 48 partai politik, menandai kebebasan berorganisasi dan berserikat yang lebih luas.
Pemilihan Langsung: Setelah Pemilu 1997, Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara tidak langsung oleh MPR. Era Reformasi mengubah ini. Sejak tahun 2004, rakyat memilih Presiden, Wakil Presiden, dan anggota legislatif secara langsung.
Sistem Proporsional Terbuka: Untuk mengatasi praktik daftar calon tertutup yang rentan kecurangan dan kontrol elit (seperti di Pemilu 1997), Indonesia kemudian mengadopsi sistem proporsional terbuka, di mana pemilih mencoblos nama calon, bukan hanya tanda gambar partai (meskipun sistem ini juga memiliki tantangan tersendiri, seperti politik uang). (CHCW)