Artikel KPU Kab. Jayawijaya

Peran Perempuan Semakin Menguat dalam Penguatan Demokrasi

Jayawijaya – Perempuan memiliki peran strategis dalam memperkuat demokrasi di Indonesia. Partisipasi aktif perempuan dalam berbagai proses demokrasi, mulai dari pemilih, penyelenggara pemilu, hingga pengambil kebijakan, menjadi indikator penting terwujudnya demokrasi yang inklusif dan berkeadilan. Dalam setiap tahapan pemilu dan pemilihan, keterlibatan perempuan terus menunjukkan peningkatan. Perempuan tidak hanya hadir sebagai pemilih yang cerdas dan rasional, tetapi juga berkontribusi sebagai anggota badan ad hoc, penyelenggara pemilu, pengawas, serta calon legislatif dan kepala daerah. Hal ini mencerminkan kesadaran bahwa demokrasi yang sehat harus memberikan ruang yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Penguatan peran perempuan dalam demokrasi juga sejalan dengan amanat konstitusi dan regulasi pemilu yang mendorong keterwakilan perempuan, khususnya dalam lembaga legislatif. Keterlibatan perempuan diharapkan mampu menghadirkan perspektif yang lebih beragam, terutama dalam memperjuangkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat luas, termasuk kelompok rentan. Selain itu, partisipasi perempuan dalam pendidikan politik dan sosialisasi demokrasi turut berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pemilih. Perempuan berperan aktif sebagai agen perubahan di lingkungan keluarga dan masyarakat dengan menanamkan nilai-nilai demokrasi, seperti kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab. Ke depan, sinergi antara pemerintah, penyelenggara pemilu, dan masyarakat perlu terus diperkuat untuk menciptakan ruang partisipasi yang aman dan setara bagi perempuan. Dengan demikian, demokrasi Indonesia dapat tumbuh semakin matang, inklusif, dan berintegritas melalui peran aktif perempuan di setiap lini kehidupan demokrasi.(santha)

Richard the Lionheart: Sang Raja Pejuang yang Mengguncang Perang Salib Ketiga

Jayawijaya - Richard I dari Inggris, lebih dikenal sebagai Richard the Lionheart (Richard Si Hati Singa), adalah salah satu tokoh paling ikonik dalam Perang Salib Ketiga (1189–1192). Ketangkasannya dalam memimpin pasukan dan reputasinya sebagai ksatria tak terkalahkan menjadikannya simbol keberanian Eropa terhadap kekuatan Islam yang dipimpin oleh Sultan Salahuddin al-Ayyubi (Saladin). Kisah Richard tidak hanya berisi kemenangan dan heroisme, tetapi juga dipenuhi intrik politik, diplomasi yang rumit, serta pertarungan dua tokoh besar yang saling menghormati di tengah peperangan. Latar Belakang Perang Salib Ketiga Perang Salib Ketiga lahir sebagai respons atas jatuhnya Yerusalem ke tangan Saladin pada tahun 1187. Kekalahan itu mengguncang Eropa, membuat para raja Kristen berkumpul untuk menyusun ekspedisi militer dalam rangka merebut kembali Tanah Suci. Tiga raja besar yang memimpin ekspedisi ini adalah: Richard I dari Inggris Philippe II dari Prancis Frederick Barbarossa dari Kekaisaran Romawi Suci Namun, setelah Barbarossa meninggal dalam perjalanan dan Philippe II mundur ke Prancis, Richard menjadi figur sentral dalam perang. Ekspedisi Richard: Dari Gesekan Politik hingga Medan Perang 1. Ketegangan dengan Prancis dan Sicilia Sebelum mencapai Tanah Suci, Richard terlibat dalam konflik politik di Sicilia, sekaligus memperkuat aliansinya dengan kerajaan-kerajaan Eropa untuk kebutuhan logistik perang. 2. Penaklukan Acre Kemenangan dan reputasinya terbangun ketika ia berhasil membantu menaklukkan kota penting Acre setelah pengepungan panjang. Di sinilah keberanian Richard mulai menjadi legenda. 3. Pertempuran Arsuf (1191) Richard meraih kemenangan besar melawan pasukan Saladin dalam pertempuran ini. Strateginya yang cerdas dan ketenangannya memimpin pasukan menjadikannya figur militer yang dikagumi bahkan oleh lawannya. 4. Hubungan Hormat dengan Saladin Meski berperang habis-habisan, Hubungan Richard dan Saladin dilandasi saling hormat. Keduanya dikenal sebagai ksatria terhormat yang menghargai etika perang. Banyak catatan menyebutkan bahwa mereka bertukar hadiah, mengirimkan dokter untuk mengobati yang sakit, dan bahkan hampir mencapai perjanjian damai total. Gagal Merekbut Yerusalem, tetapi Berhasil Mencapai Diplomasi Bersejarah Meskipun sukses dalam banyak pertempuran, Richard gagal merebut kembali Yerusalem karena kondisi strategis yang tidak menguntungkan. Pada akhirnya, ia memilih jalur diplomasi dan menandatangani Perjanjian Ramla (1192) dengan Saladin. Isi penting perjanjian tersebut meliputi: Yerusalem tetap berada di bawah kekuasaan Muslim Ziarah umat Kristen ke kota suci dijamin Pelabuhan-pelabuhan penting tetap berada dalam kendali pasukan Salib Diplomasi ini mengakhiri Perang Salib Ketiga dan dikenal sebagai salah satu perjanjian paling beradab dalam sejarah perang. Kepulangan Richard dan Penangkapannya Dalam perjalanan pulang, Richard ditangkap oleh Duke Leopold dari Austria dan diserahkan kepada Kaisar Romawi Suci. Inggris harus membayar tebusan sangat besar untuk membebaskannya. Kisah ini kelak menjadi bagian dramatis dalam sejarah kepemimpinan Inggris. Warisan Richard the Lionheart Richard dikenang sebagai raja yang: Lebih banyak menghabiskan masa pemerintahannya di medan perang ketimbang di Inggris Menginspirasi citra “ksatria ideal” dengan keberanian dan sikap terhormat Membangun struktur militer dan strategi perang yang mempengaruhi Eropa abad pertengahan Menciptakan preseden diplomasi antara dua kekuatan besar keagamaan Citra heroiknya masih bertahan hingga hari ini, baik dalam sejarah, sastra, maupun budaya populer. (Gholib) Referensi: The Crusades: The Authoritative History of the War for the Holy Land – Thomas Asbridge Richard the Lionheart: The Crusader King – John Gillingham Saladin – Anne-Marie Eddé The Oxford Illustrated History of the Crusades – Jonathan Riley-Smith A History of the Middle Ages – Joseph Dahmus The Life and Legend of the Sultan Saladin – Jonathan Phillips Medieval Warfare: A History – Maurice Keen

Mengutak-Atik Otak Albert Einstein: Misteri Jenius yang Terus Dibongkar Ilmuwan

Jayawijaya - Lebih dari tujuh dekade setelah kematiannya, otak fisik Albert Einstein masih menjadi salah satu objek penelitian paling kontroversial dalam sejarah ilmu pengetahuan. Perjalanan otaknya dimulai pada 1955 ketika Dr. Thomas Harvey, seorang ahli patologi di Rumah Sakit Princeton, melakukan autopsi dan memutuskan untuk mengambil serta menyimpan organ tersebut untuk keperluan penelitian ilmiah. Langkah itu memicu polemik tentang etika medis, hak keluarga, dan rasa penasaran manusia tentang penyebab kejeniusannya. Penelitian Awal: Struktur Unik di Balik Kejeniusan Penelitian awal menunjukkan bahwa otak Einstein memiliki keunikan pada bagian lobus parietal, area yang terkait dengan kemampuan matematika, visualisasi ruang, dan penalaran logis. Para peneliti menemukan: Ketiadaan celah Sylvian yang biasanya memisahkan daerah tertentu Kepadatan neuron lebih tinggi pada beberapa area Penebalan korteks yang diduga berhubungan dengan kemampuan kognitif tinggi Meskipun temuan-temuan itu menarik, sebagian ilmuwan berpendapat bahwa ukuran otaknya yang justru sedikit lebih kecil dari rata-rata pria dewasa adalah bukti bahwa kecerdasan tidak ditentukan oleh ukuran, melainkan kompleksitas struktur dalam. Kontroversi Etika: Apakah Einstein Mengizinkannya? Salah satu perdebatan terbesar adalah soal etika. Einstein tidak pernah secara eksplisit memberikan izin untuk memperlakukan otaknya sebagai objek penelitian permanen. Keluarga Einstein baru mengetahui tindakan itu setelah autopsi selesai. Perdebatan pun bergulir: Apakah Einstein ingin menjadi “objek kajian post-mortem”? Apakah otak seseorang boleh menjadi properti ilmiah tanpa persetujuan? Bagaimana regulasi etika medis berkembang setelah kasus ini? Kasus ini kemudian memengaruhi pemikiran modern mengenai informed consent dan privasi tubuh manusia. Penelitian Modern: Teknologi Baru, Data Baru Dengan kemajuan teknologi pemindaian otak, sejumlah penelitian terbaru menggunakan foto potongan otak Einstein yang disimpan secara digital. Temuan penting termasuk: Kesimetrian hemisfer kiri dan kanan yang tidak biasa Koneksi saraf lebih rapat pada area terkait pemecahan masalah Komposisi sel glia dalam jumlah signifikan Sejumlah ahli saraf kini berpendapat bahwa kecerdasan Einstein tidak hanya hasil anatomi otak, tetapi juga faktor lingkungan, pola pikir, determinasi, dan kebiasaan berpikir abstraknya. Budaya Populer: Einstein dan Mitologi Kejeniusan Otak Einstein telah menjadi bagian dari budaya populer: dari film dokumenter, museum, hingga teori-teori konspirasi. Banyak publik membayangkan bahwa ada “rahasia mekanik” dalam otaknya yang membuatnya jenius, padahal kajian ilmiah menunjukkan bahwa kecerdasan adalah kombinasi rumit antara struktur, pengalaman hidup, dan kerja keras. Apa yang Dipelajari Ilmuwan dari Otak Einstein? Penelitian terhadap otak Einstein telah membantu perkembangan berbagai bidang: Neurosains kognitif Psikologi kecerdasan Kajian anatomi otak manusia Metodologi neuroetika Namun, para ahli sepakat bahwa penelitian ini tidak memberikan formula pasti tentang bagaimana “membuat manusia jenius”. (Gholib) Referensi: Michael Paterniti – Driving Mr. Albert: A Trip Across America with Einstein's Brain Dean Falk – Einstein’s Brain: Inside the Mind of a Genius Walter Isaacson – Einstein: His Life and Universe Allen M. Hornblum – Acres of Skin (untuk konteks etika medis) Eric Kandel – Principles of Neural Science

Kerusakan Lingkungan Kian Parah: Indonesia Masuki Fase Darurat Ekologis

Jayawijaya - Indonesia kembali menghadapi persoalan serius terkait kerusakan lingkungan. Laporan berbagai lembaga menunjukkan bahwa kualitas ekosistem terus menurun akibat aktivitas manusia yang tidak terkendali, mulai dari pembukaan lahan secara ilegal, pencemaran sungai, sampai kerusakan ekosistem pesisir. Fenomena ini diperparah oleh perubahan iklim yang memicu cuaca ekstrem, banjir, dan kekeringan di berbagai daerah. Baca juga : Kondisi Darurat Bencana Alam: Pemerintah Percepat Penanganan Demi Keselamatan Warga Deforestasi dan Degradasi Hutan: Ancaman Utama Deforestasi menjadi penyumbang terbesar kerusakan lingkungan di Indonesia. Kalimantan, Sumatera, hingga Papua terus kehilangan tutupan hutan akibat ekspansi industri: Perkebunan kelapa sawit Tambang batu bara dan nikel Perambahan dan pembalakan liar Menurut pakar lingkungan, hilangnya hutan menyebabkan penurunan kualitas udara, punahnya satwa endemik, serta meningkatnya konflik satwa-manusia. Pencemaran Sungai dan Laut Meningkat Selain kerusakan hutan, pencemaran air kini menjadi perhatian utama. Sungai-sungai besar seperti Citarum, Musi, dan Siak tercemar limbah industri dan domestik. Di wilayah pesisir, sampah plastik dan limbah tambang mempengaruhi kehidupan biota laut dan nelayan. Penelitian menunjukkan bahwa Indonesia menjadi salah satu penyumbang sampah plastik terbesar ke lautan. Perubahan Iklim Memperparah Krisis Perubahan iklim global memperburuk situasi lingkungan. Indonesia mulai merasakan: Meningkatnya frekuensi banjir bandang Suhu yang terus naik setiap tahun Pola hujan yang tidak menentu Kekeringan ekstrem di berbagai daerah Fenomena ini berpengaruh langsung pada produksi pangan, kesehatan masyarakat, dan ekonomi lokal. Dampak Kerusakan Lingkungan bagi Masyarakat Kerusakan lingkungan memiliki dampak berantai, antara lain: Turunnya kualitas kesehatan akibat polusi udara dan air Berkurangnya lahan pertanian produktif Meningkatnya risiko bencana alam Krisis air bersih Kerugian ekonomi terutama pada sektor pertanian dan perikanan Banyak desa kini masuk kategori rawan bencana akibat kerusakan ekosistem di sekitar mereka. Upaya Pemerintah Masih Terkendala Meski pemerintah telah melakukan sejumlah Langkah seperti rehabilitasi hutan dan penegakan hukum implementasinya belum maksimal. Masih banyak perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran namun mendapat sanksi minimal. Pengawasan di daerah juga dinilai lemah karena keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran. Aktivis Menuntut Reformasi Pengelolaan Lingkungan Organisasi lingkungan hidup mendesak pemerintah lebih tegas dalam: Menghentikan izin industri perusak lingkungan Memperluas kawasan konservasi Menerapkan prinsip restorative ecology Melibatkan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan Gerakan masyarakat sipil semakin kuat menuntut transparansi kebijakan lingkungan. (Gholib) Referensi: Emil Salim – Lingkungan Hidup dan Pembangunan Munadjat Danusaputro – Hukum Lingkungan Otto Soemarwoto – Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan David N. Cooper – Environment and Society Rachel Carson – Silent Spring

Pembekuan Bea Cukai: Dampak, Alasan, dan Guncangan pada Arus Perdagangan Nasional

Jayawijaya - Isu mengenai pembekuan sebagian fungsi Bea Cukai mencuat setelah berbagai laporan tentang kemacetan layanan, kasus pelanggaran etik, serta tekanan publik terhadap transparansi fiskal. Meskipun belum diputuskan secara resmi, opsi ini menjadi topik besar di ruang kebijakan nasional. Pembekuan di sini tidak berarti penutupan institusi, melainkan pengehentian sementara fungsi operasional tertentu, seperti pemeriksaan fisik, pengawasan kawasan tertentu, atau penundaan pungutan sementara dalam situasi darurat ekonomi. Kabar ini menimbulkan beragam reaksi dari pelaku usaha, akademisi, hingga pengamat hukum fiskal. Baca juga : Gelombang PHK Masih Terjadi: Mengapa Pekerja Jadi Korban? Latar Belakang: Sorotan Publik dan Reformasi Internal Beberapa faktor yang memunculkan wacana pembekuan antara lain: 1. Kasus penyalahgunaan kewenangan Insiden terkait integritas pegawai menjadi tekanan besar bagi institusi Bea Cukai. Publik menuntut reformasi transparansi dan akuntabilitas. 2. Penumpukan barang di pelabuhan Proses clearance yang lambat menimbulkan kerugian ekonomi, khususnya bagi importir dan sektor manufaktur. 3. Desakan reformasi fiskal Kementerian keuangan tengah menggodok penyederhanaan sistem pengawasan dan tarif untuk menekan biaya logistik nasional. 4. Krisis global dan tekanan perdagangan internasional Fluktuasi ekonomi global membuat pemerintah perlu merampingkan beban fiskal agar arus barang lebih fleksibel. Pembekuan sementara dapat menjadi langkah untuk merestrukturisasi fungsi dan sistem, bukan tindakan permanen. Apa yang Dibekukan? Skema yang Dibahas Pemerintah Hasil diskusi internal memunculkan beberapa kemungkinan: Pembekuan layanan pemeriksaan barang tertentu yang dianggap menghambat industri strategis. Penangguhan tarif bea masuk sementara untuk barang pokok dan bahan baku, guna menjaga stabilitas inflasi. Pembekuan otoritas di beberapa pelabuhan dan pengalihan sementara ke sistem otomatis. Evaluasi menyeluruh terhadap SOP pemeriksaan, audit, dan mitigasi fraud. Semua ini bersifat sementara untuk memberi ruang masa transisi menuju sistem yang lebih transparan. Dampak terhadap Ekonomi dan Perdagangan Jika diterapkan, pembekuan akan membawa dampak luas: Positif: Mengurangi biaya logistik untuk industri. Mempercepat arus barang melalui jalur pelabuhan utama. Meredakan inflasi karena turunnya beban impor bahan baku. Membangun kepercayaan publik terhadap reformasi institusi. Negatif: Potensi meningkatnya penyelundupan, jika pengawasan longgar. Kehilangan pendapatan negara dari tarif bea masuk tertentu. Kebingungan regulatif jika tidak disosialisasikan secara konsisten. Pengamat mengingatkan bahwa efektivitas kebijakan sangat bergantung pada kontrol digital, pengawasan internal, dan penguatan hukum kepabeanan. Perspektif Hukum: Landasan dan Batasan Pembekuan kewenangan Bea Cukai harus merujuk pada: Undang-Undang Kepabeanan (UU No. 10/1995 yang telah diubah dengan UU No. 17/2006) PP tentang Pungutan dan Penangguhan Tarif Kewenangan Kementerian Keuangan dalam menetapkan kebijakan fiskal Dalam ranah hukum administrasi negara, pembekuan lembaga atau kewenangan merupakan diskresi administratif, namun harus memenuhi: asas proporsionalitas, asas ultimum remedium, asas kepastian hukum, asas kemanfaatan. Jika tidak, kebijakan berpotensi menimbulkan sengketa tata usaha negara. Reaksi Publik: Apakah Ini Solusi? Pelaku usaha memandang opsi pembekuan sebagai angin segar untuk percepatan arus logistik. Namun kelompok pemerhati korupsi menilai langkah ini tidak boleh menutup urgensi reformasi integritas. Para akademisi ekonomi memperingatkan bahwa pembekuan hanya memberi efek jangka pendek, tetapi perlu diikuti revitalisasi sistem kepabeanan berbasis digital. (Gholib) Referensi: Bryan A. Garner – Black’s Law Dictionary (definisi kepabeanan dan administrasi negara) W. Kip Viscusi, J. Vernon & J. Harrington – Economics of Regulation and Antitrust Richard A. Musgrave & Peggy Musgrave – Public Finance in Theory and Practice Jimly Asshiddiqie – Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara Ahmad Mustofa – Hukum Kepabeanan dan Cukai di Indonesia Robert Baldwin, Martin Cave & Lodge – Understanding Regulation: Theory, Strategy, and Practice

Gelombang PHK Masih Terjadi: Mengapa Pekerja Jadi Korban?

Jayawijaya - Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masih menjadi ancaman nyata bagi pekerja di berbagai sektor industri di Indonesia. Meski kondisi ekonomi nasional mulai pulih, banyak perusahaan tetap melakukan perampingan karyawan karena tekanan operasional, transformasi bisnis, hingga penurunan permintaan pasar. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, laporan aduan PHK masih tercatat tinggi dalam dua tahun terakhir, mencerminkan adanya ketidakstabilan di sektor ketenagakerjaan. Para pekerja dari beragam level mulai dari operator hingga staf professional mengaku kehilangan pekerjaan dengan alasan yang beragam. Ragam Alasan Mengapa Korban Menjadi Target PHK 1. Penurunan Kinerja Perusahaan Banyak perusahaan mengaku kesulitan menjaga arus kas akibat: menurunnya daya beli masyarakat, merosotnya permintaan produk/jasa, meningkatnya biaya bahan baku. Ketika pendapatan tidak mampu menutupi biaya operasional, pengurangan tenaga kerja menjadi salah satu opsi yang dipilih perusahaan untuk bertahan. 2. Restrukturisasi dan Efisiensi Organisasi Transformasi bisnis akibat digitalisasi membuat sebagian posisi dianggap tidak lagi relevan. Beberapa alasan umum: otomatisasi menggantikan pekerjaan manual, merger dan akuisisi yang menggabungkan posisi serupa, penyesuaian struktur perusahaan untuk menjadi lebih ramping. PHK jenis ini biasanya menyasar karyawan di posisi administratif dan middle management. 3. Kinerja Individu yang Tidak Memenuhi Target Di sejumlah perusahaan, terutama sektor penjualan, PHK dilakukan karena: target kerja tidak tercapai dalam jangka waktu lama, evaluasi performa menunjukkan ketidaksesuaian kompetensi, pelanggaran kedisiplinan atau SOP. Meski demikian, beberapa korban PHK merasa evaluasi tersebut tidak objektif atau menjadi alasan yang “dicari-cari”. 4. Dampak Kemerosotan Ekonomi Global Gejolak ekonomi global seperti: konflik geopolitik, krisis energi, fluktuasi nilai mata uang, penurunan ekspor, mengakibatkan perusahaan multinasional melakukan penyesuaian tenaga kerja di berbagai negara, termasuk Indonesia. 5. Perusahaan Mengalami Kerugian Berkepanjangan UU Ketenagakerjaan memperbolehkan PHK jika perusahaan secara nyata mengalami kerugian dua tahun berturut‐turut. Alasan ini banyak dipakai oleh perusahaan kecil dan menengah yang tidak mampu bertahan menghadapi persaingan pasar atau perubahan teknologi. 6. Perubahan Arah Bisnis Kadang perusahaan: menutup divisi tertentu, mengalihkan investasi ke sektor lain, menghentikan proyek yang tidak lagi strategis. Hal ini menyebabkan posisi tertentu dihapuskan sepenuhnya dan pekerja terpaksa terkena PHK. 7. Konflik Internal atau Relasi Buruk dengan Atasan Walau jarang diakui secara resmi, sejumlah korban PHK menyebut bahwa keputusan perusahaan dipengaruhi oleh: konflik personal dengan pimpinan, ketidakharmonisan relasi kerja, dinamika politik kantor. Alasan ini kerap sulit dibuktikan namun banyak dialami pekerja di lapangan. Dampak Sosial-Ekonomi bagi Korban PHK Korban PHK umumnya menghadapi: hilangnya pendapatan tetap, tekanan psikologis dan kecemasan masa depan, kesulitan mencari pekerjaan baru, tuntutan ekonomi keluarga. Kondisi ini menegaskan perlunya penguatan jaminan sosial, peningkatan skill pekerja, dan sistem early warning di perusahaan sebelum melakukan PHK. Upaya yang Dapat Dilakukan Pekerja yang Terkena PHK 1. Mengajukan Hak Sesuai UU Korban PHK berhak atas: pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak. 2. Mencari Pelatihan Ulang (Reskilling/Upgrading) Banyak program pemerintah seperti: Kartu Prakerja, pelatihan BLK, pelatihan digital profesional. 3. Menghubungi Serikat Pekerja atau Mediator Ketenagakerjaan Jika PHK dirasa tidak sesuai prosedur, korban dapat mengajukan: perundingan bipartit, mediasi, gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). (ARD) Referensi: Payaman J. Simanjuntak – Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia – Lembaga Penerbit FE UI. Suhartono – Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia – Kencana Prenada Media. Handri Raharjo – Manajemen Sumber Daya Manusia – BPFE Yogyakarta. Dessler, Gary – Human Resource Management – Pearson. Hasibuan, Malayu S.P. – Manajemen Sumber Daya Manusia – Bumi Aksara.