Fenomena Performative Oath: Ketika Sumpah Bukan Sekadar Kata-kata
Jayawijaya - Dalam kehidupan modern, sumpah baik sumpah jabatan, sumpah persidangan, maupun sumpah adat kian menjadi sorotan. Fenomena ini disebut sebagai performative oath, yaitu sumpah yang tidak hanya mengatakan sesuatu, tetapi melakukan sesuatu melalui kata-kata. Konsep ini diperkenalkan oleh filsuf bahasa J.L. Austin dalam teori speech act, di mana ucapan tertentu dapat memiliki efek tindakan konkret. Dalam konteks hukum, politik, dan budaya, sumpah menjadi alat legitimasi yang memengaruhi tindakan sosial.
Akar Teori: Dari Austin hingga Searle
Teori performative muncul ketika Austin menjelaskan bahwa sejumlah ucapan bukan deskripsi, melainkan tindakan. Misalnya, “Saya bersumpah akan menjaga konstitusi” tidak menggambarkan keadaan, tetapi menciptakan komitmen hukum dan moral.
John Searle kemudian memperluas konsep ini melalui teori illocutionary acts, menjelaskan bahwa:
- Sumpah membentuk kewajiban sosial
- Ada konsekuensi simbolik dan normatif
- Efeknya bergantung pada konteks institusional
Dengan demikian, performative oath adalah bagian dari mekanisme sosial untuk menciptakan realitas normatif.
Performa Sumpah di Ruang Publik
Fenomena performative oath semakin menonjol dalam beberapa dekade terakhir. Media massa dan teknologi digital membuat momen pengucapan sumpah menjadi tontonan publik dengan efek politik dan sosial yang besar. Contoh fenomenanya:
- Sumpah jabatan pejabat publik dipakai untuk meneguhkan legitimasi dan akuntabilitas.
- Sumpah persidangan digunakan sebagai instrumen moral untuk mencegah kebohongan.
- Sumpah adat punya kekuatan simbolik yang mampu mengikat komunitas.
- Sumpah digital seperti pledge aktivis atau gerakan sosial di media sosial mengokohkan identitas dan solidaritas.
Sumpah tidak lagi menjadi ritual privat, tetapi pertunjukan performatif yang diamati oleh publik luas.
Dimensi Hukum: Efek yang Mengikat
Dalam perspektif hukum, performative oath merupakan fondasi keabsahan tindakan pejabat negara. Tanpa sumpah:
- Pejabat tidak dianggap sah menjalankan kewenangan
- Keterangan saksi di persidangan dapat dianggap cacat
- Kontrak dan jabatan tertentu tidak valid secara prosedural
Sifat performatif sumpah menjadikannya alat yang mengikat secara legal, bukan sekadar ritual.
Dimensi Sosiologis: Sumpah Sebagai Ritual Komitmen
Sosiolog seperti Emile Durkheim menyebut ritual sosial memiliki fungsi integratif. Dalam konteks performative oath:
- Sumpah memperkuat kohesi sosial
- Menandai transisi peran seseorang dalam masyarakat
- Menjadi mekanisme moral kolektif
Sumpah bekerja karena masyarakat mempercayai kekuatan simboliknya.
Fenomena Kontemporer: Antara Seremoni dan Tanggung Jawab
Masyarakat modern menghadapi dilema: sumpah sering menjadi acara seremonial yang megah, tetapi komitmennya kerap dipertanyakan. Publik menilai bahwa:
- Sumpah pejabat sering dikritik karena tidak diikuti integritas
- Sumpah profesional (dokter, advokat, akuntan) diuji oleh tekanan ekonomi
- Sumpah politik semakin dipenuhi unsur simbolik daripada etika
Fenomena ini memperlihatkan ketegangan antara performa simbolik dan kejujuran moral.
(Gholib)
Referensi:
- J.L. Austin – How to Do Things with Words (Harvard University Press)
- John Searle – Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language
- Judith Butler – Excitable Speech: A Politics of the Performative
- Emile Durkheim – The Elementary Forms of Religious Life
- Stanley Fish – Doing What Comes Naturally: Change, Rhetoric, and the Practice of Theory
- Robert Audi (ed.) – The Cambridge Dictionary of Philosophy (untuk konsep etika dan tindakan)