Artikel KPU Kab. Jayawijaya

Oliver Wendell Holmes Jr. Pelopor Realisme Hukum Modern di Amerika Dari Posisi Hakim Agung ke Filsuf Hukum

Wamena, KPU Kabupaten Jayawijaya memandang bahwa Oliver Wendell Holmes Jr. (1841-1935) telah diakui secara luas sebagai tokoh yang mempelopori Realisme Hukum Amerika yang mengubah secara mendasar pemikiran hukum klasik pada abad ke-19. Sebagai seorang Hakim Agung di Mahkamah Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes Jr. merombak pandangan hukum yang selama ini dipahami sebagai sekadar kumpulan aturan menjadi suatu alat sosial yang aktif dan beradaptasi. Lewat karya-karya dan putusannya, Oliver Wendell Holmes Jr. menantang pandangan hukum yang bersifat formalistis yang melihat hukum sebagai sistem logika yang kaku. Oliver Wendell Holmes Jr. menegaskan bahwa esensi hukum sebenarnya ditentukan oleh tindakan pengadilan dalam praktik sehari-hari bukan hanya berdasarkan isi dari undang-undang yang tertulis. Baca Juga : R.A. Kartini: Perempuan Hebat Pembawa Perubahan Biografi Singkat Oliver Wendell Holmes Jr. Oliver Wendell Holmes Jr. dilahirkan di Boston, Massachusetts pada 8 Maret 1841 dalam lingkungan keluarga berpendidikan. Ayahnya, Oliver Wendell Holmes Jr. adalah seorang penyair dan dokter terkenal. Setelah menyelesaikan studinya di Harvard Law School (1866), Oliver Wendell Holmes Jr. memasuki dunia hukum dan akademik, serta menulis “The Common Law” (1881) sebuah buku yang diakui sebagai karya penting dalam perkembangan hukum Anglo-Amerika. Kariernya terus bersinar ketika Oliver Wendell Holmes Jr. diangkat sebagai Hakim Agung Mahkamah Agung AS (1902-1932) yang menjadikannya salah satu hakim dengan masa jabatan terlama dalam sejarah negara ini. Pemikiran Utama Oliver Wendell Holmes Jr.: Hukum sebagai Alat Sosial Oliver Wendell Holmes Jr. menolak anggapan konvensional yang menyatakan bahwa hukum bersifat pasti dan mutlak. Menurut Oliver Wendell Holmes Jr.  pemahaman hukum tidak bisa hanya bergantung pada logika melainkan harus melalui pengalaman sosial dan empiris masyarakat. Dalam ungkapan terkenalnya, Oliver Wendell Holmes Jr. menulis: “Artinya hukum bukanlah logika melainkan pengalaman”. Pernyataan ini menangkap esensi aliran Realisme Hukum yang menekankan bahwa hukum harus dianalisis berdasarkan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari bukan hanya dari teori atau teks undang-undang. Konsep “Teori Orang Jahat” Hukum dari Oliver Wendell Holmes Jr. Di salah satu esai paling berpengaruhnya “The Path of the Law” (1897), Oliver Wendell Holmes Jr. memperkenalkan ide yang dikenal sebagai “Teori Orang Jahat”. Oliver Wendell Holmes Jr. berargumen bahwa cara terbaik untuk memahami hukum adalah dengan memposisikan diri sebagai orang yang tidak baik individu yang hanya peduli pada hasil praktis dari tindakannya bukan pada masalah etika. “Jika Anda ingin memahami hukum dan tidak ada yang lain, Anda harus melihatnya dari sudut pandang orang jahat yang hanya peduli pada akibat material”. Dengan demikian, hukum dilihat dari apa yang bisa dilakukan pengadilan terhadap tindakan individu dan bukan dari penilaian tentang benar atau salah secara moral. Pemikiran ini memindahkan perhatian hukum dari moralitas kepada prediksi tindakan pengadilan (hukum sebagai usaha memprediksi). Oliver Wendell Holmes Jr. dan Kontribusinya di Mahkamah Agung Sebagai seorang Hakim Agung, Oliver Wendell Holmes Jr. terkenal dengan pandangan-pandangan minoritasnya yang pada akhirnya menjadi landasan bagi transformasi signifikan dalam sistem hukum di Amerika. Beberapa kasus penting yang menunjukkan perspektifnya adalah: Abrams v. United States (1919) dalam perkara ini, Oliver Wendell Holmes Jr. menolak adanya pembatasan terhadap kebebasan berargumen serta mengenalkan konsep “pasar gagasan” di mana kebebasan berpendapat menjadi elemen fundamental dalam sebuah demokrasi. Schenck v. United States (1919) Oliver Wendell Holmes Jr. merumuskan uji “ancaman jelas dan mendesak” yang menentukan kapan pembatasan terhadap kebebasan berbicara boleh diterapkan. Lochner v. New York (1905) Oliver Wendell Holmes Jr. menolak intervensi Mahkamah Agung dalam isu kebijakan ekonomi di negara dengan menyatakan bahwa konstitusi tidak memberikan jaminan terhadap ideologi ekonomi tertentu. Pikirannya ini menunjukkan bahwa Oliver Wendell Holmes Jr. mendorong penerapan hukum yang adaptif, realistis, dan mendukung perubahan sosial yang terjadi. Baca Juga : Rudolf von Jhering Pionir Aliran Hukum Tujuan yang Menghidupkan Hukum untuk Masyarakat Ciri-ciri Realisme Hukum Menurut Oliver Wendell Holmes Jr. Fokus pada Keputusan Pengadilan: Hukum bukan hanya sekadar teks tetapi merupakan hasil dari keputusan yang nyata. Pendekatan Berdasarkan Bukti: Analisis hukum perlu mempertimbangkan aspek sosial, psikologi hakim, dan dampak yang sebenarnya terjadi. Skeptisisme terhadap Etika Hukum: Hukum tidak selalu berhubungan langsung dengan keadilan moral. Penekanan pada Pengalaman: Hukum berkembang seiring dengan pengalaman masyarakat dan tuntutan zaman. Pengaruh Pemikiran Holmes terhadap Hukum Modern Gagasan-gagasan Oliver Wendell Holmes Jr. telah melahirkan generasi baru pemikir hukum, contohnya: Roscoe Pound (Yurisprudensi Sosiologis), Karl Llewellyn dan Jerome Frank (Realisme Hukum Amerika), serta berdampak pada pendekatan Critical Legal Studies di abad ke-20. Oliver Wendell Holmes Jr. juga menjadi sumber inspirasi untuk pengembangan pendekatan hukum empiris di berbagai institusi pendidikan seperti Harvard, Yale, dan Columbia. Kritik terhadap Pemikiran Oliver Wendell Holmes Jr. Meskipun inovatif, gagasan-gagasan Oliver Wendell Holmes Jr. mendapat kritik karena: Terlalu fokus pada aspek empiris sehingga mengabaikan nilai-nilai moral dan keadilan yang substansial. Ada keprihatinan bahwa hal ini dapat menciptakan ruang bagi positivisme ekstrem di mana hukum hanya dianggap sebagai kekuasaan tanpa etika. Pendekatannya yang pragmatis terkadang dinilai tidak memberikan panduan normatif dalam penegakan hukum. Namun, mayoritas ahli hukum tetap memahami bahwa perspektif Oliver Wendell Holmes Jr. adalah jembatan krusial antara hukum klasik dengan hukum modern. Baca Juga : Rudolf von Jhering Pionir Aliran Hukum Tujuan yang Menghidupkan Hukum untuk Masyarakat Warisan Intelektual Oliver Wendell Holmes Jr. Setelah pensiun pada usia 90 tahun, Oliver Wendell Holmes Jr. masih dikagumi sebagai “The Great Dissenter”. Warisan intelektualnya menjadi pijakan dari filsafat hukum di Amerika serta menjadi dasar bagi reformasi pendidikan hukum yang lebih praktis dan realistis. Saat ini, kutipan dan teori Oliver Wendell Holmes Jr. tetap diajarkan di banyak fakultas hukum di berbagai negara termasuk di Indonesia, khususnya dalam mata kuliah Filsafat Hukum dan Teori Hukum Modern. (Gholib) Referensi: Holmes, Oliver Wendell Jr. The Common Law. Boston: Little, Brown and Company, 1881. Holmes, Oliver Wendell Jr. The Path of the Law. Harvard Law Review, Vol. 10, 1897. Grey, Thomas C. The Legal Realism of Oliver Wendell Holmes. Columbia Law Review, 1989.

Cara Melaporkan Berita Hoaks dalam Demokrasi

Di tengah derasnya arus informasi politik di media sosial, berita hoaks menjadi ancaman serius bagi demokrasi digital dan kepercayaan publik terhadap Pemilu. Banyak warga tanpa sadar membagikan kabar yang belum terverifikasi, padahal hal itu bisa menimbulkan kesalahpahaman dan perpecahan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami cara melaporkan berita hoaks dalam demokrasi agar ruang publik tetap sehat, aman, dan bebas dari manipulasi informasi. Dengan dukungan lembaga resmi seperti KPU, Bawaslu, dan Kominfo, setiap warga dapat berperan aktif menjaga integritas Pemilu dan memperkuat partisipasi warga dalam sistem demokrasi yang beradab. Baca Juga : Pendidikan Pemilih: Strategi KPU dalam Meningkatkan Literasi Demokrasi Mengapa Penting Melawan Hoaks dalam Demokrasi Dalam sistem demokrasi, kebenaran informasi menjadi pondasi utama agar masyarakat dapat menentukan pilihan secara rasional. Namun, di era digital, berita bohong atau hoaks sering digunakan untuk memecah belah dan memengaruhi opini publik. Melawan hoaks bukan hanya tugas pemerintah atau KPU, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh warga negara. Salah satu langkah nyata menjaga demokrasi adalah melaporkan berita hoaks agar tidak semakin menyebar di ruang publik. Langkah-langkah Cara Melaporkan Berita Hoaks Berikut cara sederhana dan resmi untuk melaporkan berita hoaks, terutama yang berkaitan dengan isu politik atau Pemilu: 1. Cek Kebenaran Informasi Terlebih Dahulu Sebelum melapor, pastikan informasi yang dianggap hoaks benar-benar tidak sesuai fakta. Bandingkan dengan sumber resmi seperti: Situs KPU RI: https://www.kpu.go.id Situs Kominfo RI: https://www.kominfo.go.id Portal Cek Fakta Bersama: https://cekfakta.com Jika informasi tidak ditemukan di sumber resmi, besar kemungkinan itu adalah berita bohong. 2. Laporkan Melalui Kanal Resmi Kominfo Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membuka layanan pelaporan hoaks melalui: Email: aduankonten@kominfo.go.id Website: https://aduankonten.id Media sosial resmi Kominfo di Instagram, Twitter, dan Facebook. Cukup lampirkan tautan berita, screenshot, serta alasan mengapa informasi tersebut dianggap hoaks. Laporan akan diverifikasi oleh tim Kominfo sebelum ditindaklanjuti. 3. Gunakan Fitur Pelaporan di Media Sosial Setiap platform media sosial memiliki fitur pelaporan konten palsu atau menyesatkan: Facebook: Pilih “Laporkan Postingan” → “Berita Palsu” Instagram: Klik tiga titik → Laporkan → Informasi Palsu X (Twitter): Pilih Report → Misleading Information YouTube: Klik Lainnya → Laporkan → Konten Menyesatkan Langkah sederhana ini bisa membantu memperlambat penyebaran hoaks secara luas. Baca Selengkapnya : Cara Memeriksa Fakta dan Sumber Berita Politik di Media Sosial 4. Laporkan Hoaks Politik ke Bawaslu atau KPU Jika hoaks berkaitan dengan tahapan Pemilu, calon, atau hasil penghitungan suara, laporan bisa disampaikan ke: Bawaslu RI: https://www.bawaslu.go.id KPU RI: https://www.kpu.go.id Kedua lembaga ini berwenang menindaklanjuti dugaan pelanggaran yang mengganggu integritas penyelenggaraan Pemilu. Dasar Hukum Penindakan Hoaks Penyebaran berita bohong termasuk tindak pidana. Beberapa dasar hukum yang mengaturnya antara lain: Pasal 28 ayat (1) UU ITE No. 11 Tahun 2008: “Setiap orang dengan sengaja menyebarkan berita bohong yang merugikan orang lain dapat dipidana penjara hingga 6 tahun dan/atau denda hingga Rp1 miliar.” Pasal 14 dan 15 KUHP: Mengatur hukuman bagi siapa pun yang menyebarkan kabar bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat. Peran Masyarakat dalam Menjaga Demokrasi Sehat Melaporkan berita hoaks berarti ikut menjaga keutuhan bangsa. Masyarakat yang aktif dan peduli terhadap kebenaran informasi akan memperkuat kualitas demokrasi. KPU Jayawijaya mengajak seluruh warga untuk bijak bermedia sosial, tidak mudah terprovokasi, serta aktif memeriksa kebenaran berita sebelum menyebarkannya. Referensi Resmi: Kementerian Komunikasi dan Informatika RI  KPU Republik Indonesia  Bawaslu Republik Indonesia  Cek Fakta Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO)  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)  

Langkah Nyata Menjaga Pemilu Damai Melalui Literasi Digital

Wamena — Di tengah derasnya arus informasi politik di dunia maya, masyarakat kini memegang peran besar dalam menentukan arah demokrasi. Pemilu yang damai dan jujur tidak hanya bergantung pada penyelenggara seperti KPU dan Bawaslu, tetapi juga pada kemampuan setiap warga untuk menggunakan literasi digital secara bijak. Literasi digital bukan sekadar kemampuan menggunakan gawai atau mengakses media sosial, melainkan kemampuan menyaring informasi, berpikir kritis, dan bertanggung jawab dalam berkomunikasi di ruang digital. Pemilu Damai Berawal dari Masyarakat yang Cerdas Digital Di era media sosial yang begitu cepat menyebarkan informasi, menjaga Pemilu damai tidak hanya tugas penyelenggara atau aparat keamanan, tetapi juga seluruh warga negara. KPU Jayawijaya menekankan pentingnya literasi digital sebagai langkah nyata untuk melindungi nilai demokrasi dari pengaruh hoaks, provokasi, dan ujaran kebencian yang bisa memecah belah masyarakat. Ketika masyarakat mampu berpikir kritis dan memeriksa kebenaran setiap informasi, maka suasana Pemilu akan tetap kondusif dan penuh semangat kebersamaan. Mengapa Literasi Digital Penting di Masa Pemilu? Literasi digital tidak hanya sekadar kemampuan menggunakan internet atau media sosial, tetapi juga kemampuan memahami, menilai, dan memverifikasi informasi politik. Di masa Pemilu, banyak informasi yang berseliweran  mulai dari kabar hasil survei, isu kandidat, hingga janji kampanye. Tanpa kemampuan literasi yang baik, masyarakat mudah terseret arus informasi palsu. Dengan literasi digital yang kuat, setiap warga bisa: Menyaring informasi sebelum membagikan ke orang lain. Mengenali tanda-tanda berita hoaks dan propaganda politik. Menggunakan media sosial secara positif untuk menyebarkan pesan persatuan dan kedamaian. Langkah Nyata Menjaga Pemilu Damai Melalui Literasi Digital Edukasi Publik Secara Rutin KPU Jayawijaya bersama lembaga pendidikan dan komunitas lokal perlu terus menggelar pelatihan atau diskusi publik mengenai literasi digital dan etika bermedia sosial. Ciptakan Ruang Diskusi Sehat Dorong masyarakat untuk berdiskusi berdasarkan data dan sumber resmi, bukan emosi atau kabar yang belum jelas asalnya. Gunakan Sumber Resmi Pemerintah dan KPU Informasi tentang tahapan Pemilu, daftar pemilih, dan hasil penghitungan suara sebaiknya selalu dicek melalui situs resmi KPU RI (https://www.kpu.go.id) atau akun resmi KPU Jayawijaya. Bangun Gerakan Positif di Media Sosial Gunakan tagar dan unggahan positif seperti #PemiluDamai #CerdasMemilih #KPUJayawijaya untuk menyebarkan semangat persatuan dan partisipasi warga. Lawan Hoaks dengan Fakta, Bukan Emosi Saat menemukan kabar mencurigakan, verifikasi melalui situs cekfakta.com, kominfo.go.id, atau media kredibel sebelum ikut menyebarkan. Mewujudkan Demokrasi yang Sehat dan Bermartabat Pemilu yang damai adalah cermin dari masyarakat yang beradab dan menghargai perbedaan. KPU Jayawijaya terus berkomitmen menciptakan ruang informasi yang sehat, transparan, dan mendidik. Melalui literasi digital, warga tidak hanya menjadi pemilih, tetapi juga penjaga demokrasi yang aktif dan bertanggung jawab. Mari bersama wujudkan Pemilu damai, jujur, dan berintegritas dengan menjadi warga digital yang bijak dan cerdas. Artikel Terkait Tips Melawan Hoaks Pemilu Cara Memeriksa Fakta dan Sumber Berita Politik di Media Sosial Cara Melaporkan Berita Hoax

Cara Memeriksa Fakta dan Sumber Berita Politik di Media Sosial

Wamena — Menjelang masa pemilu dan pilkada, media sosial menjadi wadah utama penyebaran informasi politik. Sayangnya, di tengah derasnya arus berita, tidak semua informasi yang beredar dapat dipercaya. Banyak berita hoaks dan manipulasi data yang berpotensi memengaruhi opini publik serta mengganggu jalannya demokrasi. Karena itu, penting bagi setiap warga untuk memahami cara memeriksa fakta berita politik agar tidak menjadi korban atau penyebar informasi palsu. Mengapa Harus Memeriksa Fakta Berita Politik di Media Sosial? Media sosial seperti Facebook, X (Twitter), dan TikTok memiliki algoritma yang mendorong konten viral, bukan selalu yang benar. Hal ini membuat berita politik yang provokatif atau menyesatkan lebih cepat tersebar dibandingkan klarifikasi yang sebenarnya. Baca Juga : Langkah Nyata Menjaga Pemilu Damai Melalui Literasi Digital Memeriksa fakta adalah langkah awal dalam menjaga partisipasi warga yang sehat, meningkatkan literasi digital, dan melindungi integritas hak pilih dalam sistem demokrasi. Bagaimana Cara Memeriksa Fakta dan Sumber Berita Politik? 1. Periksa Sumber Berita dan Domain Situs Pastikan informasi berasal dari sumber resmi dan kredibel. Hindari situs dengan domain mencurigakan atau nama mirip media terkenal. Situs resmi seperti KPU RI, Bawaslu, dan Kominfo selalu memuat informasi yang telah diverifikasi. 2. Cermati Gaya Penulisan dan Judul Berita hoaks biasanya menggunakan judul sensasional dan memancing emosi, seperti “TERBONGKAR!!!” atau “FAKTA MENGEJUTKAN!”. Media profesional cenderung menulis secara netral dan berimbang, mencantumkan narasumber jelas, serta tidak menebar kebencian. 3. Gunakan Situs Pemeriksa Fakta Sebelum membagikan berita, gunakan situs pemeriksa fakta seperti: CekFakta.com TurnBackHoax.id Kominfo - Hoax Buster Ketik judul berita atau nama tokoh politik yang disebutkan untuk melihat apakah sudah pernah diklarifikasi. 4. Bandingkan dengan Media Arus Utama Jika berita hanya muncul di satu sumber, besar kemungkinan itu tidak valid. Bandingkan dengan media besar seperti Antara, Kompas, atau CNN Indonesia. Media arus utama umumnya menjalankan proses cek fakta berlapis sebelum publikasi. Simak Juga :  Cara Melaporkan Berita Hoaks dalam Demokrasi 5. Perhatikan Tanggal dan Konteks Berita Banyak hoaks politik menggunakan berita lama yang disebarkan ulang seolah-olah masih relevan. Cek tanggal unggahan dan konteks situasi politik saat berita itu diterbitkan. 6. Jangan Langsung Sebarkan Kebiasaan membagikan berita tanpa verifikasi mempercepat penyebaran hoaks. Sebaiknya baca, cek sumber, dan pikirkan dampak sosialnya sebelum menekan tombol “bagikan”. 7. Edukasi Orang Sekitar Literasi digital bukan hanya tanggung jawab pribadi. Edukasi teman, keluarga, atau rekan kerja untuk berhati-hati saat membaca berita politik. Semakin banyak masyarakat melek informasi, semakin kuat pertahanan publik terhadap hoaks. Apa Dampak Jika Fakta Tidak Diperiksa dengan Benar? Ketika masyarakat gagal membedakan antara fakta dan hoaks, maka kepercayaan publik terhadap pemilu dan lembaga negara menurun. Situasi ini bisa mengarah pada polarisasi sosial, konflik politik, bahkan kekacauan informasi. Sebaliknya, masyarakat yang terbiasa memeriksa fakta akan menciptakan iklim demokrasi yang sehat dan partisipatif.

Tips Melawan Hoaks Pemilu: Cerdas Memilah Informasi

Wamena — Menjelang pesta demokrasi, arus informasi tentang pemilu dan pilkada semakin deras, terutama di media sosial. Sayangnya, tidak semua informasi dapat dipercaya. Banyak hoaks pemilu disebarkan untuk memengaruhi opini publik, bahkan mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap KPU, Bawaslu, dan proses demokrasi itu sendiri. Karena itu, penting bagi warga untuk meningkatkan partisipasi cerdas, dengan mengenali tanda-tanda berita palsu dan memverifikasi setiap informasi sebelum membagikannya. Apa Itu Hoaks Pemilu dan Mengapa Berbahaya? Hoaks pemilu adalah informasi palsu atau menyesatkan yang dikaitkan dengan tahapan pemilu, calon, atau hasil pemungutan suara. Hoaks dapat memecah belah masyarakat dan merusak kepercayaan terhadap sistem demokrasi. Contohnya, kabar palsu tentang manipulasi daftar pemilih tetap (DPT) atau isu penggelembungan suara yang tidak benar. Hal ini bisa menimbulkan ketegangan dan menurunkan tingkat partisipasi warga dalam menggunakan hak pilihnya. Bagaimana Cara Membedakan Hoaks dan Fakta di Media Sosial? Periksa sumber berita. Pastikan berasal dari situs resmi seperti KPU RI, Bawaslu, atau Kominfo. Cermati judul dan isi. Hoaks sering menggunakan bahasa sensasional dan memancing emosi pembaca. Gunakan situs cek fakta. Anda bisa memanfaatkan cekfakta.com atau TurnBackHoax.id untuk memastikan kebenarannya, atau bisa analisasi di website resmi instansi terkai Periksa tanggal berita. Banyak hoaks memakai berita lama yang diputar ulang. Baca Juga : Cara Memeriksa Fakta dan Sumber Berita Politik di Media Sosial Bagaimana Literasi Digital Membantu Melawan Hoaks? Literasi digital adalah kemampuan memahami dan memanfaatkan informasi secara bijak. Dalam konteks pemilu, literasi digital membantu masyarakat mengenali informasi yang benar, tidak mudah terprovokasi, dan mampu memfilter konten negatif. Kegiatan edukatif dari sekolah, kampus, dan komunitas dapat memperkuat pemahaman publik akan pentingnya pemilu yang jujur dan adil. Pelajari lebih lanjut di artikel Langkah Nyata Menjaga Pemilu Damai Melalui Literasi Digital Apa Peran KPU dan Bawaslu dalam Menangkal Hoaks Pemilu? KPU dan Bawaslu berperan penting dalam mengedukasi masyarakat. KPU menyediakan kanal resmi klarifikasi berita, sementara Bawaslu membuka ruang pelaporan untuk konten yang berpotensi menyesatkan.   Selain itu, Kominfo turut mengawasi dan menindak akun penyebar hoaks politik selama masa kampanye. Sinergi antar lembaga ini menjadi kunci menciptakan pemilu yang damai Apa yang Bisa Dilakukan Pemilih? Sebagai pemilih cerdas, masyarakat dapat: Memastikan diri terdaftar di DPT melalui situs resmi KPU (lihat juga artikel terkait: Cara Cek Daftar Pemilih Tetap (DPT)). Tidak menyebarkan informasi yang belum diverifikasi. Mendorong partisipasi warga lain agar menggunakan hak pilih secara bertanggung jawab. Apa Bahaya Penyebaran Berita Hoaks bagi Demokrasi? Hoaks dapat merusak tatanan demokrasi karena membuat masyarakat sulit membedakan fakta dan opini. Dalam jangka panjang, hoaks bisa: Menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, KPU, dan lembaga negara. Merusak prinsip demokrasi dan pemilu yang jujur serta adil. Memicu perpecahan sosial dan konflik antar kelompok masyarakat. Membentuk opini publik yang salah akibat paparan berita palsu berulang. Menurunkan kualitas partisipasi politik warga karena salah informasi. Menghambat literasi digital dan kemampuan berpikir kritis masyarakat. Mengancam stabilitas nasional serta keamanan politik di masa pemilu Dalam konteks partisipasi warga, hoaks membuat masyarakat apatis enggan memilih karena merasa sistem tidak adil. Padahal, keikutsertaan dalam pemilu adalah bentuk nyata menjaga demokrasi Pancasila. Apakah Menyebarkan Berita Hoaks Bisa Dipidana? Ya. Penyebaran hoaks termasuk tindak pidana yang dapat dijerat dengan hukum di Indonesia. Beberapa dasar hukumnya antara lain: Pasal 28 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016: “Setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen di media elektronik dapat dipidana dengan penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.” Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946: “Barang siapa dengan sengaja menyiarkan berita bohong yang dapat menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat, diancam pidana penjara hingga 10 tahun.” UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 521 dan 523: Melarang setiap orang menyebarkan berita bohong terkait tahapan pemilu yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas penyelenggara pemilu. Dengan demikian, penyebaran hoaks bukan hanya pelanggaran etika, tetapi juga pelanggaran hukum.Pelajari Selengkapnya  cara melaporkan berita Hoax dalam demokrasi

Bentuk Negara Federal dalam Membangun Keseimbangan antara Pusat dan Daerah

Wamena, KPU Kabupaten Jayawijaya melihat bahwa bentuk negara federal adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (negara bagian atau provinsi). Masing-masing memiliki kewenangan politik, administratif, dan hukum yang diatur dalam konstitusi. Model ini muncul sebagai alternatif terhadap sistem negara kesatuan yang menempatkan kendali utama pada pemerintah pusat. Menurut ahli hukum tata negara C.F. Strong, negara federal merupakan “suatu bentuk pemerintahan di mana kekuasaan dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan masing-masing memiliki kedaulatan dalam bidang tertentu.” Dalam konteks ini, negara federal bertujuan menciptakan keseimbangan kekuasaan dan mencegah dominasi oleh satu otoritas tunggal. Baca Juga : Bentuk Pemerintahan di Dunia dan Penjelasannya Lengkap Ciri-ciri Utama Negara Federal Dalam bentuk negara federal terdapat beberapa karakteristik pokok yang membedakannya dari negara kesatuan: Pembagian kekuasaan konstitusional antara pemerintah pusat dan negara bagian. Adanya konstitusi tertulis yang menjadi pedoman bagi kedua tingkat pemerintahan. Lembaga perwakilan dua kamar (bikameral), seperti Senat dan DPR, untuk menampung kepentingan pusat dan daerah. Kedaulatan ganda, yaitu kedaulatan pemerintah pusat di bidang tertentu (misalnya pertahanan dan hubungan luar negeri) serta kedaulatan daerah dalam urusan lokal. Adanya Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung Federal sebagai penjaga supremasi konstitusi. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Jerman, Swiss, Australia, dan India merupakan contoh nyata penerapan sistem federal yang sukses dalam menjaga keberagaman dan stabilitas politik. Baca Juga : Bentuk Pemerintahan Republik: Kedaulatan di Tangan Rakyat Kelebihan dan Kekurangan Negara Federal Salah satu kelebihan utama sistem federal adalah adanya desentralisasi yang efektif. Pemerintah daerah memiliki ruang untuk menyesuaikan kebijakan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Hal ini menciptakan efisiensi dalam pelayanan publik serta meningkatkan partisipasi warga dalam pemerintahan. Namun, kekurangannya terletak pada potensi tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah serta biaya administrasi yang lebih besar. Konflik kepentingan antarnegara bagian juga bisa terjadi, terutama dalam sistem yang kurang koordinatif. Misalnya, dalam sistem Amerika Serikat, konflik antara pemerintah federal dan negara bagian sering muncul dalam isu seperti imigrasi, hak sipil, dan hukum lingkungan. Negara Federal dan Keadilan Sosial Dalam konteks keadilan sosial, negara federal memungkinkan pemerataan pembangunan dengan melibatkan daerah dalam pengambilan keputusan. Dengan otonomi yang lebih luas, pemerintah daerah dapat mengelola sumber daya secara mandiri tanpa terlalu bergantung pada pusat. Konsep keadilan sosial dalam negara federal juga memperkuat prinsip kemandirian daerah, yang dapat mengurangi kesenjangan ekonomi dan politik antarwilayah. Prinsip ini sejalan dengan pandangan Roscoe Pound, bahwa hukum dan sistem pemerintahan seharusnya “berfungsi sebagai sarana untuk menyeimbangkan kepentingan sosial yang beragam.” Baca Juga : Urutan Presiden Indonesia: Kilas Balik Para Pemimpin Bangsa Relevansi bagi Indonesia Meskipun Indonesia menganut sistem negara kesatuan, beberapa prinsip federal seperti otonomi daerah telah diadaptasi melalui desentralisasi administratif. Tujuannya untuk memperkuat efektivitas pemerintahan daerah dan meningkatkan pelayanan publik. Namun, perubahan menjadi negara federal bukanlah hal mudah karena memerlukan revisi konstitusi, konsensus politik nasional, serta kesiapan daerah dalam mengelola kekuasaan sendiri. (ARD) Referensi: C.F. Strong. Modern Political Constitutions: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form. London: Sidgwick & Jackson, 1963. K.C. Wheare. Federal Government. London: Oxford University Press, 1967. Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2019.