Artikel KPU Kab. Jayawijaya

Teori Kedaulatan Raja dalam Pemikiran Politik Klasik

Wamena, Dalam sejarah politik dunia, Teori Kedaulatan Raja (The Theory of Royal Sovereignty) menjadi salah satu pilar utama legitimasi kekuasaan monarki. Teori ini menyatakan bahwa seluruh kedaulatan negara berada di tangan raja, dan kekuasaannya tidak terbatas oleh hukum atau kehendak rakyat. Pandangan ini pernah menjadi fondasi sistem pemerintahan monarki absolut, terutama di Eropa pada abad ke-16 hingga ke-18.

Asal-usul Teori Kedaulatan Raja

Teori Kedaulatan Raja lahir dari perpaduan antara teologi politik dan tradisi feodal. Pada masa itu, kekuasaan dianggap sebagai anugerah langsung dari Tuhan kepada raja. Dengan demikian, raja bukan hanya pemimpin politik tetapi juga wakil Tuhan di bumi. Tokoh-tokoh seperti Jean Bodin (1530–1596) dalam bukunya Six Livres de la République (1576) menegaskan bahwa: “Souveraineté est la puissance absolue et perpétuelle d’une République”. (Kedaulatan adalah kekuasaan absolut dan abadi dari suatu negara). Menurut Bodin, kedaulatan tidak dapat dibagi dan tidak terbatas oleh hukum manusia. Raja memiliki kekuasaan mutlak untuk membuat, menegakkan, dan menafsirkan hukum.

Baca Juga : Teori Kedaulatan Tuhan dalam Sejarah Politik dan Hukum

Prinsip Utama Teori Kedaulatan Raja

  1. Kedaulatan bersumber dari raja bukan rakyat. Raja menjadi pusat dari semua kekuasaan negara - legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
  2. Raja tidak dapat diganggu gugat. Segala tindakan raja dianggap sah dan tidak dapat ditentang.
  3. Hukum berasal dari kehendak raja. Raja sebagai sumber hukum tertinggi (lex animata - hukum yang hidup).
  4. Ketaatan rakyat adalah kewajiban moral dan politik. Menentang raja berarti menentang tatanan negara.

Pemikiran ini menjadi landasan bagi sistem monarki absolut yang banyak diterapkan di Prancis, Inggris, dan Spanyol pada masa modern awal.

Kedaulatan Raja dalam Praktik Politik

Contoh paling terkenal dari penerapan teori ini adalah pada masa pemerintahan Raja Louis XIV dari Prancis (1643–1715) yang dikenal dengan julukan “The Sun King.” Ia menyatakan dengan lantang: “L’État, c’est moi.” (Negara adalah aku). Ungkapan ini menggambarkan bahwa identitas negara melekat pada diri raja. Semua keputusan politik, ekonomi, dan hukum bergantung pada kehendaknya semata.

Kritik terhadap Teori Kedaulatan Raja

Meskipun teori ini memberikan stabilitas pada masa-masa awal pembentukan negara modern, ia juga menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Rakyat tidak memiliki ruang untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, dan hukum sering kali digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dinasti. Kritik mulai muncul pada abad ke-17 dan ke-18 melalui pemikiran filsuf politik modern seperti:

  1. John Locke, yang menolak kekuasaan absolut dan memperkenalkan gagasan pemisahan kekuasaan berdasarkan kontrak sosial.
  2. Jean-Jacques Rousseau, yang memperjuangkan kedaulatan rakyat sebagai sumber legitimasi negara.
  3. Montesquieu, yang menekankan pemisahan kekuasaan agar tidak terjadi tirani.

Teori-teori ini akhirnya menjadi dasar bagi lahirnya demokrasi modern dan konstitusionalisme, yang membatasi kekuasaan penguasa melalui hukum.

Baca Juga : Hak dan Kewajiban Warga Negara: Pengertian, Contoh, dan Landasan Hukumnya

Pengaruh Teori Kedaulatan Raja dalam Pembentukan Negara Modern

Meskipun telah banyak ditinggalkan, Teori Kedaulatan Raja tetap memiliki pengaruh besar dalam perkembangan negara hukum (rechtsstaat) dan sistem monarki konstitusional. Beberapa negara seperti Inggris, Jepang, dan Thailand, masih mempertahankan raja sebagai simbol kedaulatan dan kesatuan negara, meskipun kekuasaannya kini bersifat simbolik.

Refleksi Modern atas Teori Kedaulatan Raja

Dalam konteks kontemporer, teori ini dapat dimaknai sebagai bagian dari evolusi konsep kedaulatan negara. Dari kekuasaan yang berpusat pada satu orang (raja), kini kedaulatan bergeser ke tangan rakyat dan hukum. Namun demikian, etos kepemimpinan yang bertanggung jawab, bermoral, dan berwibawa yang melekat pada figur raja tetap relevan bagi kepemimpinan modern.

(Gholib)

Referensi:

  1. Bodin, Jean. Six Livres de la République. Paris: Jacques du Puys, 1576.
  2. Filmer, Robert. Patriarcha: The Natural Power of Kings. London: Oxford University Press, 1680.
  3. Sabine, George H. A History of Political Theory. New York: Holt, Rinehart and Winston, 1973.
  4. Barker, Ernest. Principles of Social and Political Theory. Oxford University Press, 1951.
  5. Ebenstein, William. Great Political Thinkers: Plato to the Present. New York: Holt, Rinehart & Winston, 1970.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 875 kali