Artikel KPU Kab. Jayawijaya

Pengertian DPT Online: apa itu dan mengapa penting

Wamena - Halo Sobat Pemilih, DPT atau DPT (“Daftar Pemilih Tetap”) adalah daftar warga negara yang memiliki hak memilih dalam pemilihan umum, yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setelah melalui tahap perbaikan dan penetapan resmi. Sementara itu, DPT Online mengacu pada sistem daring yang memungkinkan pemilih memeriksa secara online apakah namanya sudah tercantum pada DPT  misalnya melalui situs resmi KPU “cekdptonline.kpu.go.id”. Melalui sistem ini pemilih dapat memasukkan NIK atau Nomor KK, dan melihat data seperti nama, alamat, dan lokasi TPS yang terdaftar. Penggunaan DPT Online sangat penting karena memudahkan verifikasi mandiri dan mencegah kesalahan data seperti pemilih belum terdaftar, pindah domisili tanpa pembaruan, atau data ganda. Dengan demikian, hak pilih dapat digunakan dengan sah dan transparan. Baca Juga : Cek DPT Online Terbaru: Panduan Lengkap Pemilih Kenapa DPT Online perlu Anda cek Memastikan status Anda terdaftar sebagai pemilih tetap (DPT) sehingga bisa memberikan suara. Mengetahui lokasi TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang tercantum sesuai data Anda. Memudahkan mendeteksi bila data Anda belum muncul atau terdapat kesalahan—misalnya nama tidak tercantum atau alamat berbeda sehingga bisa segera melakukan pemutakhiran. Mendukung partisipasi demokrasi yang lebih luas dan valid dengan meminimalkan pemilih yang tidak terdaftar saat hari pencoblosan. Cara sederhana melakukan pengecekan DPT Online Buka browser di HP atau laptop Anda. Akses situs resmi pengecekan seperti cekdptonline.kpu.go.id (atau melalui halaman resmi KPU). Masukkan data yang diminta — biasanya NIK atau Nomor KK sesuai yang tercatat di e-KTP/KK Anda. Klik tombol “Cari” atau “Pencarian”. Tunggu hasil tampil: jika terdaftar, akan muncul nama Anda, alamat, dan lokasi TPS. Jika tidak muncul, artinya data Anda belum tercatat atau terdapat kesalahan. Jika data belum muncul atau salah, segera lakukan lapor ke kantor KPU kabupaten/kota atau ke Panitia Pemungutan Suara (PPS) setempat.  

Musyawarah: Jantung Kebudayaan dan Sejarah Demokrasi Indonesia

Wamena — Musyawarah adalah cara pengambilan keputusan yang sudah sangat tumbuh kuat dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Ini bukan hanya sebuah istilah, tetapi merupakan bagian inti dari cara hidup kita. Musyawarah menjadi pondasi utama dalam sistem demokrasi Pancasila dan mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa. Apa itu Musyawarah? Secara bahasa, kata "musyawarah" berasal dari bahasa Arab, "syura," yang awalnya berarti "mengeluarkan madu dari sarang lebah." Makna ini berkembang menjadi sesuatu yang baik yang bisa diambil atau dihasilkan, termasuk pendapat dan keputusan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), musyawarah adalah diskusi bersama dengan tujuan mencapai kesimpulan atau keputusan terkait penyelesaian masalah. Tujuan utamanya adalah mencapai mufakat, yaitu kesepakatan bersama yang dicapai melalui musyawarah, yang harus ditaati dengan tanggung jawab dan didasari kejujuran serta kepentingan bersama.Intinya, musyawarah adalah proses berbicara dan berdiskusi yang memperhatikan prinsip moral, akal budi, dan hati nurani untuk menemukan solusi terbaik bagi kepentingan umum. Baca Juga : Profil Lengkap Republik Indonesia: Sejarah, Bentuk Negara, dan Wilayahnya Musyawarah dalam Kebudayaan Indonesia: Mengapa Sangat Profond? Musyawarah sangat dalam bagi budaya Indonesia karena sudah menjadi nilai kebiasaan (kearifan lokal) yang hidup di berbagai suku dan wilayah jauh sebelum kemerdekaan. Di banyak daerah, penyelesaian masalah dan pengadilan adat selalu dilakukan melalui mekanisme tradisional dalam forum musyawarah adat, yang memiliki sebutan khas seperti "paruman" atau "pesangkepan" di Bali. Praktik ini mencerminkan beberapa nilai luhur yang dihargai oleh masyarakat Indonesia, seperti: Nilai Kebersamaan: Musyawarah harus dilakukan secara bersama, dengan mengutamakan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Kekeluargaan dan kesetaraan: Setiap peserta dalam musyawarah memiliki kedudukan yang sama, dan berhak menyampaikan pendapat tanpa paksaan. Menghargai pendapat orang lain: Terdapat kewajiban untuk mendengarkan, menghormati, dan jika diperlukan, menerima pendapat orang lain dengan terbuka. Oleh karena itu, para pendiri bangsa kemudian memasukkan musyawarah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dasar negara. Sila Keempat Pancasila, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan," secara jelas menjadikannya sebagai fondasi demokrasi Indonesia. Sejarah musyawarah di Indonesia sangat berkaitan dengan kebudayaan leluhur dan proses pembentukan negara. Sebelum kemerdekaan, praktik musyawarah sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Masyarakat adat dan kerajaan menggunakan cara ini untuk menyelesaikan berbagai masalah. Cara ini terbukti efektif dalam menjaga hubungan baik di tengah keberagaman suku, agama, dan budaya. Selama masa perjuangan kemerdekaan dan pembentukan negara, musyawarah sangat penting dalam menentukan dasar negara. Beberapa contoh penting adalah: Penyusunan Pancasila: Sidang BPUPKI pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945, di mana lima prinsip dasar negara disepakati melalui musyawarah. Penandatanganan UUD 1945: Sidang BPUPKI dan PPKI berhasil mencapai kesepakatan bersama untuk menyusun dan mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar hukum negara. Pembentukan NKRI: Keputusan untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) juga lahir dari musyawarah para pendiri bangsa. Dengan demikian, musyawarah menjadi bagian penting dari demokrasi Pancasila. Semua keputusan penting diambil dengan mengutamakan kemaslahatan seluruh rakyat dan kearifan tradisional, menjadikannya budaya yang terus dilestarikan hingga hari ini. (CHCW) Baca Juga : Nepotisme Bentuk Jejak Kuasa yang Menggerogoti Keadilan dan Sistem Merit Referensi Fulanah, A. (2018). Musyawarah sebagai Nilai Luhur dalam Pengambilan Keputusan. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 5(2), 110–125. Gramedia Literasi. (2023). Pengertian Musyawarah: Prinsip, Tujuan, Manfaat, dan Contohnya.  Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. (t.t.). Musyawarah Mufakat Dalam Budaya Pancasila. Pusat Bahasa. (t.t.). Musyawarah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring.  Rahardjo, S. (2019). Tilikan Sejarah Musyawarah: Budaya Mulia Kita. Jalandamai.org Diakses dari https://jalandamai.org/tilikan-sejarah-musyawarah-budaya-mulia-kita.html  

Laksamana Malahayati: Laksamana Perempuan Pertama dari Aceh

Wamena —  Biasanya gelar laksamana disandang oleh laki-laki, namun ada satu wanita asal Indonesia yang menyandang gelar laksamana dialah Laksamana Malahayati. Seorang pahlawan perempuan yang gigih dan teguh melawan penjajahan Belanda dikala itu. Sejarah maritim Indonesia mencatat nama Keumalahayati atau yang lebih dikenal sebagai Laksamana Malahayati, seorang panglima angkatan laut Kesultanan Aceh Darussalam yang hidup pada abad ke-16. Ia tidak hanya dikenal sebagai salah satu panglima perang paling ditakuti, tetapi juga diakui sebagai laksamana perempuan pertama di dunia yang diangkat secara profesional. Lahir sekitar tahun 1550 M di Aceh Besar, Malahayati berasal dari keluarga bangsawan maritim. Ayah dan kakeknya adalah laksamana Kesultanan Aceh, menanamkan semangat kelautan dan militer sejak dini. Malahayati menempuh pendidikan di Akademi Militer Ma'had Baitul Maqdis, khusus pada jurusan Angkatan Laut, di mana ia mengasah strategi perang dan taktik maritim. Baca Juga : Profil dan Biografi Atenius Murip, Bupati Jayawijaya Periode 2024 - 2029 Membalas Dendam, Memimpin Pasukan Elit Janda Perang Perjuangan utama Laksamana Malahayati adalah mempertahankan kedaulatan Kesultanan Aceh dari upaya kolonialisme bangsa Eropa, terutama Portugis dan Belanda. Titik balik perjuangannya terjadi setelah suaminya, seorang perwira, gugur dalam pertempuran melawan Portugis di Teluk Haru. Walau diliputi duka namun semangat untuk membalas dendamnya membara, Malahayati mengajukan gagasan radikal kepada Sultan: membentuk armada perang yang seluruhnya terdiri dari wanita. Pasukan inilah yang kemudian dikenal sebagai Inong Balee (Pasukan Perempuan Janda Perang), yang beranggotakan sekitar 2.000 prajurit yang senasib dengannya. Malahayati memimpin langsung armada tersebut dari markas mereka di Teluk Krueng Raya, Aceh. Momen Kunci: Duel Maut dengan De Houtman Aksi paling heroik Malahayati terjadi pada 11 September 1599, ketika ia diperintahkan Sultan untuk mengusir dua kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman dan adiknya, Frederik de Houtman, yang mencoba memaksa masuk ke perairan Aceh untuk memonopoli rempah-rempah. Dalam pertempuran laut yang sengit, Laksamana Malahayati memimpin pasukan Inong Balee yang berani mati. Pertempuran mencapai puncaknya saat Malahayati berduel satu lawan satu dengan Cornelis de Houtman di geladak kapal musuh. Dalam duel tersebut, Malahayati berhasil menewaskan Cornelis de Houtman dengan senjata tradisional rencong, memberikan pukulan telak pertama bagi ambisi Belanda di Nusantara. Fakta-Fakta dan Pengukuhan Pahlawan Fakta Menarik Laksamana Malahayati Panglima Wanita Pertama: Malahayati adalah laksamana wanita pertama di dunia yang diakui secara historis memimpin angkatan perang. Armada Inong Balee: Pasukan elitnya terdiri dari janda prajurit yang memiliki motivasi tinggi untuk membalas kematian suami mereka di medan perang. Diplomat Ulung: Selain perang, Malahayati juga memimpin perundingan penting dengan utusan Inggris, James Lancaster, pada tahun 1601. Penghormatan Negara: Namanya diabadikan pada kapal perang TNI Angkatan Laut, KRI Malahayati. Pengesahan Pahlawan Nasional Jasa dan perjuangan Laksamana Malahayati diakui secara resmi oleh negara setelah melalui proses panjang. Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada 9 November 2017. Dasar hukum pengangkatan gelar Pahlawan Nasional Malahayati adalah: Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/TK/Tahun 2017, yang ditetapkan pada tanggal 6 November 2017. Laksamana Malahayati bukan hanya seorang komandan militer; ia adalah simbol kekuatan, ketahanan, dan kedaulatan maritim Aceh.  (CHCW)

Sir Henry Sumner Maine Pelopor Aliran Hukum Sejarah dan Perubahan Sosial dalam Sejarah Peradaban

Wamena, KPU Kabupaten Jayawijaya memandang pemikiran Sir Henry Sumner Maine (1822–1888) menjadi titik perubahan yang signifikan dalam teori hukum masa kini. Sebagai salah satu tokoh kunci dalam Aliran Hukum Sejarah, Sir Henry Sumner Maine menolak ide bahwa hukum hanya hasil dari abstraksi logika semata. Ia berpendapat bahwa hukum tumbuh dari evolusi sosial yang berlangsung seiring dengan dinamika masyarakat dari masyarakat yang berbasis status menuju masyarakat yang didasari kontrak. “Di mana-mana, gerakan masyarakat yang progresif hingga saat ini telah menjadi pergerakan dari Status ke Kontrak”. Ucap Sir Henry Sumner Maine, Ancient Law (1861). Pemikiran Sir Henry Sumner Maine tidak hanya memberikan dampak pada teori hukum tetapi juga berpengaruh pada sosiologi hukum, antropologi hukum, serta pengembangan hukum modern di Inggris dan Eropa. Baca Juga : Hans Kelsen Menyingkap Aliran Hukum Murni yang Menggetarkan Fondasi Positivisme Latar Belakang Pemikiran Sir Henry Sumner Maine Sir Henry Sumner Maine lahir di Inggris dan mendapatkan pendidikan di Universitas Cambridge, sebuah pusat pemikiran terkemuka di Eropa. Ia kemudian berkarir sebagai seorang ahli hukum, sejarawan, serta administrator koloni Inggris di India. Pengalamannya dalam mengamati berbagai sistem hukum adat di Asia dan Eropa memberinya wawasan bahwa hukum tidak bersifat universal melainkan muncul dari tradisi dan struktur sosial masing-masing masyarakat. Karya paling berpengaruhnya, “Ancient Law” (1861), menjadi tonggak bagi pendekatan historis dan sosiologis terhadap hukum yang selanjutnya memengaruhi pemikiran tokoh-tokoh seperti Rudolf von Jhering, Eugen Ehrlich, dan Max Weber. Pokok Pikiran Sir Henry Sumner Maine Pemikiran Sir Henry Sumner Maine dapat diringkas dalam beberapa poin penting sebagai berikut: Evolusi Hukum dari Status ke Kontrak Sir Henry Sumner Maine berargumen bahwa masyarakat kuno ditandai oleh ikatan darah dan stratifikasi sosial yang kaku. Namun seiring pertumbuhan peradaban, hukum mengalami pergeseran menuju kesetaraan hak melalui kontrak sosial. Dengan kata lain, kebebasan individu dan kesepakatan antar-warga menggantikan ikatan keluarga atau golongan sosial. Hukum sebagai Produk Sejarah Sir Henry Sumner Maine tidak setuju dengan pandangan hukum alam yang menganggap hukum bersifat mutlak. Ia menegaskan bahwa hukum berkembang dan berubah dalam konteks sejarah, sejalan dengan perubahan moral, politik, dan ekonomi dalam masyarakat. Peranan Hukum Adat dan Institusi Sosial Saat meneliti di India, Sir Henry Sumner Maine menemukan bahwa hukum adat sangat penting dalam menjaga ketentraman masyarakat. Ia menilai institusi sosial dan tradisi sebagai landasan hukum formal. Evolusi Moral dan Legalitas Sir Henry Sumner Maine, hukum berkembang bersamaan dengan perubahan kesadaran moral manusia, bukan hanya ditentukan oleh keputusan penguasa. Oleh karena itu, mempelajari sejarah hukum berarti juga mempelajari sejarah moralitas masyarakat. Aliran Hukum Sejarah: Menggabungkan Tradisi dan Rasionalitas Aliran Hukum Sejarah yang dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny dan dilanjutkan oleh Sir Henry Sumner Maine berargumen bahwa hukum tidak diciptakan semerta-merta oleh negara tetapi berkembang dari jiwa bangsa (Volksgeist). Jika Friedrich Carl von Savigny menekankan aspek jiwa bangsa maka Sir Henry Sumner Maine memperluas konsep tersebut dengan pendekatan evolusi sosial dan antropologis menegaskan bahwa hukum adalah hasil penyesuaian manusia terhadap perubahan sosial. “Hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh”. Ucap Friedrich Carl von Savigny. Pengaruh Sir Henry Sumner Maine terhadap Ilmu Hukum Modern Pemikiran Sir Henry Sumner Maine memiliki dampak yang besar di berbagai bidang ilmu, khususnya: Sosiologi Hukum, Sir Henry Sumner Maine menginisiasi studi mengenai interaksi antara hukum dan masyarakat. Antropologi Hukum, Observasinya terhadap sistem hukum tradisional di India menjadi landasan untuk penelitian hukum antar budaya. Hukum Perdata Modern, Ide "dari status ke kontrak" memengaruhi pembentukan hukum perjanjian dan hak individu dalam sistem hukum di Barat. Pemikiran Reformasi Sosial, Sir Henry Sumner Maine mendorong pemahaman bahwa hukum harus beradaptasi mengikuti perubahan nilai-nilai masyarakat bukan terjebak dalam tradisi feodal. Di Indonesia, konsep-konsep yang diusung Sir Henry Sumner Maine terlihat dalam upaya pengakuan hukum adat, seperti yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat selama sejalan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Baca Juga : Hugo Grotius: Pionir Aliran Hukum Rasional yang Merevolusi Wajah Pemikiran Hukum Global Kritik terhadap Pemikiran Sir Henry Sumner Maine Walaupun memiliki dampak yang signifikan, teori Sir Henry Sumner Maine tidak terhindar dari kritik, antara lain: Ia dianggap terlalu deterministik, seolah hukum hanya mengikut pola sosial tanpa kesempatan bagi inovasi legislatif. Beberapa akademisi modern menilai pendekatannya kurang memperhatikan peran kekuasaan dan ekonomi dalam pembentukan hukum. Meski begitu, pendekatan historis yang diajukan Sir Henry Sumner Maine tetap relevan untuk menganalisis akar sosial hukum terutama dalam konteks negara berkembang yang menghadapi benturan antara hukum adat dan hukum modern. Relevansi Pemikiran Sir Henry Sumner Maine di Era Modern Di tengah pergeseran globalisasi hukum, gagasan Sir Henry Sumner Maine mengenai evolusi sosial hukum kembali menjadi penting. Sir Henry Sumner Maine menekankan bahwa perubahan hukum yang efektif harus dimulai dari struktur sosial dan budaya Masyarakat bukan sekadar menjaga bentuk dari sistem luar. Dalam konteks reformasi hukum di Indonesia, semangat ini tercermin dalam kebijakan yang mengakui kearifan lokal dan hukum adat sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Sir Henry Sumner Maine bahwa hukum yang hidup lebih kuat dibandingkan hukum yang dipaksakan. (Gholib) Referensi: Maine, Henry Sumner. Ancient Law: Its Connection with the Early History of Society and Its Relation to Modern Ideas. London: John Murray, 1861. Savigny, Friedrich Carl von. Of the Vocation of Our Age for Legislation and Jurisprudence. London: Littlewood & Co., 1831. Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Press, 1986.

Kotak Kosong Pilkada: Pengertian, Dasar Hukum, dan Kenapa Kotak Kosong Menang

Wamena, KPU Kabupaten Jayawijaya melihat bahwa beberapa tahun terakhir, pengertian kotak kosong semakin sering diperbincangkan dalam berbagai arena pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia. Kotak kosong menjadi representasi dari pilihan masyarakat ketika hanya ada satu pasangan calon yang bersaing di surat suara. Secara resmi, kotak kosong adalah opsi alternatif dalam pemilihan umum yang disediakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) ketika hanya ada satu kandidat untuk jabatan kepala daerah. Pemilih dapat mencoblos kotak kosong jika mereka tidak setuju dengan calon tunggal yang berpartisipasi dalam kompetisi. Baca Juga : Kotak Kosong Menang? Cermin Kekecewaan Publik terhadap Kandidat Tunggal Apa Itu Kotak Kosong dalam Pilkada? Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jayawijaya, kotak kosong berfungsi sebagai pilihan lain bagi pemilih apabila hanya ada satu pasangan calon untuk jabatan kepala daerah yang telah ditentukan. Pada surat suara, nama dari pasangan calon akan dicetak bersebelahan dengan satu kolom kosong yang tidak memuat gambar atau nama calon  inilah yang dinamakan kotak kosong. Para pemilih yang merasa tidak setuju dengan calon tunggal tersebut memiliki hak untuk mencoblos kotak kosong. Apabila hasil penghitungan suara menunjukkan kotak kosong mendapatkan suara yang lebih banyak dibandingkan calon tunggal, maka calon tersebut dinyatakan kalah, dan Pemilihan Kepala Daerah akan diadakan kembali pada periode berikutnya. Keberadaan fenomena ini bukanlah sesuatu yang baru. Dalam Pilkada Makassar di tahun 2018, kotak kosong berhasil "mengalahkan" calon tunggal, yang menunjukkan bahwa masyarakat menggunakan hak suara mereka sebagai bentuk penolakan terhadap calon-calon yang tidak dianggap mewakili kepentingan mereka. Dr. Siti Nurhalimah, seorang pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, menjelaskan bahwa kotak kosong merupakan bentuk partisipasi politik yang sah dan sangat penting untuk menjaga keseimbangan dalam berdemokrasi. “Kotak kosong adalah sarana koreksi dari masyarakat. Apabila hanya ada satu calon, masyarakat tetap berhak untuk menolak. Ini menunjukkan bahwa demokrasi kita memberikan ruang bagi suara yang kritis,” ujarnya. KPU Kabupaten Jayawijaya menegaskan bahwa keberadaan kotak kosong akan terus dipertahankan dalam sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia. Mekanisme ini dianggap krusial untuk menjaga keutuhan pemilu, serta memastikan bahwa setiap kepala daerah yang terpilih benar-benar memperoleh legitimasi dari rakyat. Dasar Hukum Keberadaan Kotak Kosong Fenomena kotak tanpa isi dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah menjadi elemen kritis dalam demokrasi Indonesia. Kehadirannya tidak muncul tanpa alasan, karena diatur secara rinci dalam berbagai peraturan yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum serta didukung oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 mengenai Pilkada. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 54C menyatakan bahwa pemilihan masih dilakukan meskipun hanya ada satu pasangan calon yang bersaing. Dalam situasi ini, KPU harus menyediakan satu kolom untuk pasangan calon dan satu kolom kosong tanpa nama atau gambar di dalam surat suara kolom ini dikenal sebagai kotak kosong. Apabila hasil pemungutan suara menunjukkan bahwa kotak kosong menerima suara yang lebih banyak, maka pasangan calon yang ada akan dinyatakan tidak terpilih, dan proses pemilihan kepala daerah akan ditunda hingga periode selanjutnya. Ini menjadi representasi nyata dari hak masyarakat untuk menolak kandidat yang tidak sesuai, meskipun hanya terdapat satu individu yang mencalonkan diri. Selanjutnya, Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2024 mengenai Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah juga menegaskan metode pelaksanaan pemilihan saat ada calon tunggal. KPU daerah memiliki kewajiban untuk memastikan pemilih memahami hak mereka untuk memberikan suara atau tidak memberikan suara pada calon tunggal melalui sosialisasi yang merata. Dr. Hendra Saputra, seorang pengamat politik dari Universitas Airlangga, menjelaskan bahwa adanya dasar hukum untuk kotak kosong memperkuat legitimasi dalam demokrasi lokal. “Ketika masyarakat diberikan kesempatan untuk menolak secara resmi, ini menunjukkan bahwa demokrasi kita tidak hanya sekadar prosedural, tetapi juga memiliki substansi. Kotak kosong adalah hak politik yang diakui oleh undang-undang,” ucapnya. Dengan demikian, kotak kosong bukanlah bentuk ketidakpuasan dalam memilih, tetapi merupakan bagian dari sistem pemilu yang sah. Ini berfungsi sebagai alat kontrol masyarakat terhadap proses politik di daerah, serta memastikan bahwa setiap calon yang terpilih benar-benar memperoleh mandat sepenuhnya dari rakyat. Baca Juga : Nepotisme Bentuk Jejak Kuasa yang Menggerogoti Keadilan dan Sistem Merit Mengapa Kotak Kosong Bisa Menang? Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2024, pemilu tetap diadakan meskipun hanya ada satu pasangan calon untuk kepala daerah. Dalam surat suara, masyarakat memiliki dua opsi: memilih pasangan calon yang ada atau mencoblos kolom kosong yang tidak berisi nama atau gambar. Kolom kosong dapat menang apabila suara yang diberikan pada kolom tersebut melebihi jumlah suara yang diperoleh pasangan calon tunggal. Jika hal ini terjadi, calon tunggal akan dinyatakan tidak terpilih, dan KPU akan menunda pemilihan sampai periode berikutnya. Kemenangan kotak kosong sering kali terjadi disebabkan oleh rendahnya kepercayaan publik terhadap calon tunggal, baik karena latar belakang, gaya kepemimpinan, atau kondisi politik setempat. Selain itu, warga juga mungkin merasa bahwa proses pencalonan pasangan tunggal terlalu eksklusif atau kurang melibatkan masyarakat. Contoh paling terkenal terjadi pada Pilkada Kota Makassar tahun 2018, di mana kotak kosong berhasil memperoleh sekitar 53,23 persen suara, mengungguli pasangan calon tunggal Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi. Kemenangan ini merupakan bukti kuat bahwa masyarakat dapat menggunakan hak pilihnya untuk menolak calon yang dianggap tidak mewakili kehendak mereka. Dr. Siti Nurhalimah, seorang pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, berpendapat bahwa kemenangan kotak kosong merupakan wujud protes politik yang sah serta konstruktif. “Kemenangan kotak kosong tidak menggambarkan ketidakpedulian, melainkan sinyal bahwa masyarakat mendambakan pemimpin yang lebih dapat dipercaya dan mewakili. Ini adalah bentuk pengawasan sosial terhadap proses politik,” tuturnya. Dengan demikian, keberhasilan kotak kosong merupakan perwujudan nyata dari kedaulatan rakyat. Proses ini menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia lebih dari sekadar formalitas, melainkan benar-benar memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengekspresikan penolakan mereka dengan cara yang sah dan bermartabat. (ARD) Referensi: Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2024 tentang Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. KPU Republik Indonesia. (2020). Laporan Evaluasi Pilkada Serentak 2018. Jakarta: KPU RI. Miriam Budiardjo. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Jimly Asshiddiqie. (2015). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers. Haryanto, A. (2020). Demokrasi Lokal dan Dinamika Pilkada di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.  

Kotak Kosong Menang? Cermin Kekecewaan Publik terhadap Kandidat Tunggal

Wamena, KPU Kabupaten Jayawijaya memandang fenomena kotak kosong di pilkada kini menjadi gambaran menarik tentang demokrasi lokal di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat sejumlah kejadian di mana kotak kosong justru mengalahkan kandidat Tunggal sebuah ironi di negeri yang mengedepankan prinsip kedaulatan rakyat. Kotak kosong tidak hanya sekadar keunikan dalam politik tetapi juga merupakan cerminan mendalam mengenai krisis kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi yang dianggap sebagai formalitas semata. Di tengah semangat demokrasi elektoral, kemenangan kotak kosong menyampaikan pesan yang jelas yaitu masyarakat mendambakan pilihan yang berkualitas bukan pilihan yang dipaksakan. Apa Itu Kotak Kosong? Dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), kotak kosong berarti opsi tanpa ada pasangan calon. Hal ini diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 13 Tahun 2018 mengenai pencalonan dalam Pilkada. Apabila hanya ada satu pasangan calon yang lolos verifikasi, KPU tetap akan menyelenggarakan pemilihan dengan menyediakan dua kolom di surat suara: Kolom yang mencantumkan nama dan foto pasangan calon tunggal Kolom kotak kosong yang tidak memiliki gambar atau nama Jika pilihan terbanyak jatuh pada kotak kosong maka pasangan calon dinyatakan kalah dan Pilkada harus diadakan kembali di periode berikutnya. Situasi ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya menerima kandidat yang “diberikan” tetapi memanfaatkan hak suaranya untuk menolak sebagai bentuk protes demokratis yang sah. Baca Juga : Nepotisme Bentuk Jejak Kuasa yang Menggerogoti Keadilan dan Sistem Merit Kemenangan Kotak Kosong: Fenomena Politik yang Mencengangkan Kemenangan kotak kosong bukanlah hal yang baru. Beberapa daerah di Indonesia pernah mengalami kejadian ini, antara lain: Pilkada Makassar 2018, kotak kosong mengalahkan pasangan calon tunggal Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi dengan selisih suara yang mencolok. Pilkada Buton Tengah 2020 dan Pilkada Jayapura 2020 juga menunjukkan tren dukungan yang semakin meningkat terhadap kolom kosong. Fenomena ini mengindikasikan bahwa masyarakat tidak hanya bersikap pasif dalam sistem demokrasi, melainkan secara aktif mengekspresikan penolakan terhadap dominasi kaum elite politik. Menurut Syamsuddin Haris (dalam Demokrasi di Indonesia: Antara Demokrasi Elektoral dan Substansial, LIPI, 2014), kemenangan kotak kosong adalah “protes moral terhadap lemahnya rekrutmen politik” dari partai-partai yang gagal menyajikan calon alternatif. Analisis Sosial-Politik: Antara Apatisme dan Kesadaran Demokrasi Kemenangan kotak kosong dapat dilihat dari dua perspektif: Sebagai manifestasi apatisme publik, ketika masyarakat merasa tak ada calon yang benar-benar mewakili aspirasi mereka. Sebagai bentuk kesadaran politik, di mana pemilih menyadari haknya untuk menolak pilihan tunggal yang dianggap tidak mampu atau tidak layak. Menurut Miriam Budiardjo dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik (2008), partisipasi politik sejati tidak hanya berkisar pada memilih, tetapi juga memiliki keberanian untuk menolak pilihan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan moral publik. Dengan demikian, kotak kosong tidak selalu mencerminkan ketidakpedulian masyarakat, melainkan merupakan penegasan hak politik mereka terhadap kualitas demokrasi. Kandidat Tunggal: Di Antara Efisiensi Politik dan Penguasaan Kekuasaan Kandidat tunggal muncul sebagai hasil dari ketidaksetaraan dalam kekuatan politik. Ketika semua partai berkolaborasi untuk mendukung satu kandidat (atau petahana), kemungkinan bagi calon independen untuk muncul menjadi sangat rendah. Sistem seperti ini menciptakan sebuah ilusi adanya demokrasi, seolah-olah masyarakat diberikan kesempatan untuk memilih padahal semua pilihan telah ditentukan sebelumnya. “Kandidat tunggal merupakan tanda dari oligarki politik, di mana partai-partai kehilangan peran mereka sebagai perwakilan aspirasi Masyarakat.” Ucap Burhanuddin Muhtadi, Populisme dan Demokrasi Elektoral di Indonesia (2020). Dalam hal ini, kotak kosong berfungsi sebagai alat perbaikan sistemik, menunjukkan bahwa masyarakat tidak dapat dipaksa untuk setuju hanya karena tidak ada pilihan lain. Dampak Sosial dan Politik dari Kemenangan Kotak Kosong Beberapa konsekuensi yang muncul akibat kemenangan kotak kosong meliputi: Kekosongan kepemimpinan pada tingkat daerah, yang dapat berujung pada pemilihan kembali. Evaluasi menyeluruh terhadap cara rekrutmen politik di dalam partai. Peningkatan partisipasi masyarakat yang kritis, karena publik mulai sadar akan kekuatan suara mereka. Perubahan perilaku di kalangan elit politik, yang terdorong untuk lebih selektif dan transparan dalam pemilihan calon. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun kotak kosong terlihat sebagai “anomali demokrasi”, ia memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan. Cermin dari Krisis Demokrasi Substansial Jika dilihat dari sudut pandang filosofis, kemenangan kotak kosong dapat dipahami melalui konsep “hukum sebagai refleksi masyarakat” yang diusulkan oleh Eugen Ehrlich. Dalam konteks ini, suara rakyat mencerminkan keinginan akan keadilan sosial dan harapan akan pemerintahan yang bersih dan jujur. Seperti yang dinyatakan Hans Kelsen dalam Teori Hukum Murni, demokrasi sejati hanya dapat bertahan jika masyarakat memiliki pilihan yang bebas dan rasional. Tanpa adanya alternatif, pemilihan menjadi sekadar rutinitas yang tidak bermakna. Baca Juga : Papua Noken System: A Unique Form of Democracy in the Land of Papua Pesan Moral: Rakyat Tidak Bisa Dibungkam oleh Ketidakadilan Fenomena kotak kosong sebetulnya adalah bentuk kritik dari masyarakat terhadap sistem yang membatasi partisipasi. Ini adalah bentuk musyawarah politik yang luas bukan dalam rapat parlementer tetapi di bilik suara. Kemenangan kotak kosong menjadi pengingat bagi para elit politik bahwa kekuasaan tidak dapat diwariskan atau dibentuk melalui kesepakatan di meja perundingan partai, tetapi harus diperoleh melalui legitimasi dari publik. “Demokrasi adalah suara rakyat, bukan hasil kesepakatan para elit”. Ucap Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991). (Gholib) Referensi: Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 2008. Syamsuddin Haris. Demokrasi di Indonesia: Antara Demokrasi Elektoral dan Substansial. Jakarta: LIPI Press, 2014. Burhanuddin Muhtadi. Populisme dan Demokrasi Elektoral di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2020. Hans Kelsen. Pure Theory of Law. Oxford: Clarendon Press, 1960.