Bentuk Pemerintahan Monarki: Pengertian, Jenis, Contoh, dan Dampaknya
Wamena — Hai Sobat Pemilu! Tahukah kalian apa itu pemerintahan monarki?
Bentuk pemerintahan monarki merupakan sistem di mana kekuasaan tertinggi dipegang oleh seorang raja, ratu, atau kaisar. Dalam sistem ini, kepemimpinan biasanya diwariskan secara turun-temurun melalui garis keturunan kerajaan, bukan melalui proses pemilihan umum seperti pada sistem republik. Monarki sering kali dianggap sebagai simbol kestabilan, warisan sejarah, dan identitas nasional bagi banyak negara di dunia.
Menurut Miriam Budiardjo (2008) dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik, monarki adalah bentuk pemerintahan yang “menempatkan kepala negara sebagai simbol kesatuan dan keagungan bangsa.” Artinya, dalam sistem ini, raja atau ratu tidak hanya memegang kekuasaan politik, tetapi juga menjadi lambang persatuan dan kesinambungan tradisi nasional. Bentuk pemerintahan ini mencerminkan legitimasi kekuasaan yang bersumber dari tradisi, agama, dan budaya politik yang telah mengakar kuat di masyarakat.
Baca Juga : Bentuk Pemerintahan di Dunia dan Penjelasannya Lengkap
Pengertian Bentuk Pemerintahan Monarki
Secara etimologis, “monarki” berasal dari bahasa Yunani monos (satu) dan archein (memerintah), yang berarti “pemerintahan oleh satu orang.”
Aristoteles dalam Politics menjelaskan bahwa monarki dapat menjadi bentuk pemerintahan terbaik bila pemimpin menggunakan kekuasaan untuk kepentingan rakyat, tetapi berubah menjadi tirani bila digunakan demi kepentingan pribadi.
Jenis-Jenis Monarki
1. Monarki Absolut
Dalam monarki absolut, raja memiliki kekuasaan penuh tanpa dibatasi konstitusi. Semua kebijakan politik, hukum, dan ekonomi bergantung pada keputusan penguasa tunggal.
Contoh: Arab Saudi dan Brunei Darussalam.
2. Monarki Konstitusional
Pada monarki konstitusional, kekuasaan raja dibatasi oleh konstitusi dan parlemen. Raja hanya berperan sebagai kepala negara, sedangkan pemerintahan dijalankan oleh perdana menteri dan kabinet.
Contoh: Inggris, Jepang, dan Belanda.
3. Monarki Parlementer
Dalam monarki parlementer, peran raja hanya simbolik, sementara kekuasaan dijalankan oleh parlemen dan perdana menteri.
Contoh: Swedia dan Norwegia.
Sejarah Singkat Perkembangan Monarki
Sejarah monarki telah ada sejak peradaban manusia mengenal sistem pemerintahan terorganisir. Bentuk pemerintahan monarki pertama kali muncul di Mesopotamia dan Mesir Kuno sekitar 3000 SM, ketika kekuasaan dipusatkan pada seorang raja yang dianggap memiliki legitimasi ilahi. Dalam sejarah monarki klasik, raja sering disebut sebagai wakil dewa di bumi, sebagaimana terlihat pada pemerintahan Firaun di Mesir dan raja-raja Babilonia. Seiring perkembangan zaman, sistem monarki menyebar ke Eropa, Asia, dan wilayah lain melalui kolonialisasi serta pengaruh kebudayaan. Pada abad pertengahan, monarki feodal di Eropa memperkuat kekuasaan bangsawan melalui hubungan politik dan ekonomi berbasis tanah. Namun, setelah munculnya gerakan revolusi Amerika (1776) dan revolusi Prancis (1789), kekuasaan absolut mulai digantikan oleh monarki konstitusional, di mana kekuasaan raja dibatasi oleh undang-undang dan parlemen. Hingga kini, beberapa negara seperti Inggris, Jepang, dan Belanda tetap mempertahankan sistem monarki modern sebagai simbol tradisi dan stabilitas nasional, meskipun kekuasaan politiknya telah dibatasi oleh konstitusi.
Baca Juga : Nepotisme Bentuk Jejak Kuasa yang Menggerogoti Keadilan dan Sistem Merit
Dampak Sistem Monarki terhadap Kehidupan Negara dan Masyarakat
1. Dampak Positif Sistem Monarki
a. Stabilitas politik dan keamanan nasional
Negara monarki seperti Inggris, Jepang, dan Brunei menunjukkan stabilitas jangka panjang karena sistem kepemimpinannya tidak mudah berubah.
b. Pelestarian budaya dan identitas nasional
Raja atau ratu berperan sebagai simbol sejarah dan pemersatu rakyat. Di Jepang, peran Kaisar sebagai Tenno Heika menjaga kontinuitas budaya yang berusia ribuan tahun.
c. Legitimasi moral dan tradisional
Monarki sering dianggap memiliki “hak ilahi” atau legitimasi moral yang menumbuhkan loyalitas rakyat. Dalam konteks Islam, raja dianggap sebagai pelindung nilai-nilai syariat
2. Dampak Negatif Sistem Monarki
a. Risiko penyalahgunaan kekuasaan
Dalam monarki absolut, kekuasaan tanpa batas dapat menyebabkan tirani dan ketimpangan sosial. Contoh klasiknya adalah kekuasaan raja-raja Eropa sebelum Revolusi Prancis.
b. Minimnya partisipasi politik rakyat
Masyarakat tidak selalu memiliki hak pilih dalam menentukan pemimpin, sehingga menurunkan rasa kepemilikan terhadap kebijakan publik.
c. Ketergantungan pada figur tunggal
Kualitas pemerintahan sering bergantung pada karakter raja. Bila penguasa lemah, negara mudah goyah secara politik dan ekonomi.
Analisis Akademik Sistem Monarki
Menurut David Held (1995) dalam Models of Democracy, monarki dapat tetap relevan dalam era modern jika menyesuaikan diri dengan prinsip demokrasi, transparansi, dan hukum. Ia menekankan bahwa “monarki konstitusional adalah kompromi antara legitimasi tradisional dan modernitas politik.”
Sementara Francis Fukuyama (2014) dalam Political Order and Political Decay menilai bahwa monarki yang stabil dapat mendukung pertumbuhan ekonomi melalui kepercayaan publik dan kesinambungan kebijakan nasional.(Ar)
Referensi :
- Aristoteles. Politics. Cambridge University Press.
- Montesquieu, C.L. (1748). The Spirit of the Laws.
- Jean Bodin (1576). Six Books of the Commonwealth.
- John Locke (1689). Two Treatises of Government.
- Miriam Budiardjo (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama.
- Eric Hobsbawm (1962). The Age of Revolution.
- David Held (1995). Models of Democracy. Stanford University Press.
- Francis Fukuyama (2014). Political Order and Political Decay.
- The Economist Intelligence Unit (2023). Democracy Index Report.
- Konstitusi Jepang (1947), Konstitusi Swedia (1974), UUD Brunei (1959).