Artikel KPU Kab. Jayawijaya

Nepotisme Bentuk Jejak Kuasa yang Menggerogoti Keadilan dan Sistem Merit

Wamena, KPU Kabupaten Jayawijaya memandang bahwa nepotisme adalah sebuah tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang secara signifikan merusak struktur pemerintahan serta keadilan dalam masyarakat. Bersama dengan kolusi dan korupsi, praktik ini sering dirangkum dalam istilah terkenal KKN yang selama berpuluh tahun telah menjadi masalah kronis dalam birokrasi di Indonesia. Nepotisme terjadi ketika seorang individu memberi prioritas kepada keluarga, kerabat, atau teman dekat dalam posisi publik atau keputusan administratif tanpa melihat keahlian dan integritas. Ini menghasilkan sistem yang tidak adil, mengurangi kepercayaan masyarakat, dan melemahkan nilai meritokrasi di dalam pemerintahan dan lembaga sosial.

Baca Juga : Profil Lengkap Republik Indonesia: Sejarah, Bentuk Negara, dan Wilayahnya

Pengertian Nepotisme Dalam Sudut Pandang Hukum dan Etika Publik

Secara etimologi, kata nepotisme berasal dari bahasa Latin “nepos” berarti “keponakan”. Istilah ini mula-mula muncul pada abad pertengahan untuk menggambarkan tindakan pejabat gereja yang memberikan posisi kepada kerabatnya.

Dalam konteks masa kini, nepotisme diartikan sebagai pemberian posisi atau fasilitas kepada keluarga atau teman dekat secara tidak adil, yang bertentangan dengan prinsip profesionalisme dan keadilan sosial. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, nepotisme tergolong penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara.

Macam-Macam Praktik Nepotisme di Berbagai Bidang

Nepotisme tidak terbatas pada pemerintahan, tetapi juga meresap ke berbagai bidang sosial dan ekonomi. Berikut adalah beberapa bentuk umumnya:

  1. Nepotisme Politik

Ini terjadi ketika pejabat publik atau pemimpin daerah mengangkat anggota keluarga ke posisi, seperti menjadikan anak, istri, atau saudara sebagai pejabat atau calon legislatif.

  1. Nepotisme Birokrasi

Penempatan pegawai negeri atau jabatan struktural dilakukan berdasarkan hubungan darat, alih-alih hasil seleksi yang objektif.

  1. Nepotisme Bisnis dan Pendidikan

Terjadi ketika perusahaan atau institusi pendidikan memberikan posisi penting kepada kerabat pemilik tanpa mengindahkan keahlian profesional.

  1. Nepotisme dalam Proses Rekrutmen dan Proyek Publik

Proses seleksi, tender, atau kontrak diputuskan berdasarkan hubungan pribadi, bukan pada kualitas atau performa.

Nepotisme menjadi lebih berbahaya ketika dibungkus dengan justifikasi “loyalitas” atau “kepercayaan pribadi” padahal sebenarnya mengabaikan prinsip keadilan administratif.

Dampak Sosial dan Politik dari Nepotisme

Praktik nepotisme memiliki konsekuensi yang luas dan mendalam pada tatanan sosial serta hukum, antara lain:

  1. Mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan instituisi hukum.
  2. Menghambat munculnya inovasi dan regenerasi, karena posisi hanya berpindah di antara anggota keluarga atau kroni.
  3. Menyusutkan profesionalisme dalam aparatur negara.
  4. Mendorong ketidaksetaraan sosial dan politik dinasti, yang dapat mengancam demokrasi.

Sebagai ilustrasi, laporan dari Transparency International (2023) menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat nepotisme yang tinggi cenderung memiliki indeks korupsi yang lebih buruk dan perkembangan ekonomi yang lebih lambat dibandingkan dengan negara yang menerapkan sistem meritokrasi yang ketat.

Upaya Pemerintah dalam Memberantas Nepotisme

Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk membatasi praktik nepotisme melalui berbagai kebijakan, di antaranya:

  1. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, melarang pejabat publik menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan keluarga atau kroni.
  2. Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 mengenai Disiplin Pegawai Negeri Sipil mengatur sanksi bagi pejabat yang terbukti terlibat dalam nepotisme.
  3. Kebijakan Sistem Merit ASN lewat UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yang menekankan proses rekrutmen berdasarkan kompetensi dan prestasi kerja.

Peran KPK dan Ombudsman RI dalam pengawasan terhadap rekrutmen jabatan publik serta pelaporan pelanggaran etika. Namun demikian, praktik nepotisme masih sulit dihilangkan sepenuhnya karena budaya patronase dan politik keluarga yang masih tertanam dalam sistem sosial dan politik Indonesia.

Baca Juga : Waspada Ijazah Palsu: Kenali Ciri, Dampak, dan Cara Verifikasinya

Nepotisme dalam Perspektif Filsafat dan Teori Hukum

Dalam pandangan Hans Kelsen, nepotisme dianggap sebagai pelanggaran terhadap hierarki norma hukum karena keputusan administratif diambil bukan berdasarkan hukum yang sah melainkan berdasarkan hubungan personal.

Sementara itu, menurut Rudolf von Jhering, nepotisme mengaburkan tujuan hukum sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat karena kepentingan publik dikorbankan demi keuntungan individu atau keluarga.

Dari sudut pandang etika publik, nepotisme bertentangan dengan prinsip keadilan distributif yang dikemukakan oleh Aristoteles yang menekankan bahwa posisi dan hak harus diberikan berdasarkan jasa dan kelayakan bukan berdasarkan keturunan atau hubungan pribadi.

(Gholib)

Referensi:

  1. Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
  2. Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Press, 1986.
  3. Transparency International. Global Corruption Report 2023. Berlin: TI Secretariat, 2023.
  4. Friedman, Lawrence M. The Legal System: A Social Science Perspective. New York: Russell Sage Foundation, 1975.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 73 kali