Artikel KPU Kab. Jayawijaya

Teori Keadilan Menurut Reinhold Zippelius: Antara Norma Hukum dan Nilai Sosial dalam Dinamika Kehidupan

Wamena, Keadilan merupakan konsep yang terus berkembang seiring dengan perubahan masyarakat dan hukum. Salah satu pemikir yang memberikan warna baru terhadap teori keadilan modern adalah Reinhold Zippelius seorang filsuf hukum dan teoritikus asal Jerman yang dikenal melalui karyanya Rechtsphilosophie (Filsafat Hukum). Zippelius menolak pandangan bahwa keadilan bersifat statis dan mutlak. Ia justru melihat keadilan sebagai konsep yang hidup (lebendiges Recht), yang harus beradaptasi dengan perubahan nilai, norma, dan struktur sosial masyarakat. Baca Juga : Teori Keadilan Menurut Plato: Harmoni Jiwa dan Negara dalam Filsafat Klasik Yunani Latar Belakang Pemikiran Reinhold Zippelius Reinhold Zippelius (lahir 1928) adalah profesor hukum di Universitas Erlangen-Nürnberg, Jerman. Ia dikenal sebagai tokoh penting dalam filsafat hukum kontemporer Jerman, yang mencoba memadukan antara pendekatan normatif, sosiologis, dan etis terhadap hukum. Zippelius hidup di masa pasca-Perang Dunia II periode ketika masyarakat Jerman mengalami krisis moral dan hukum, terutama akibat kehancuran hukum positif di masa Nazi. Dari konteks itu, Zippelius mengembangkan pandangan bahwa hukum dan keadilan tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai kemanusiaan dan dinamika sosial. Keadilan sebagai Orientasi Moral Hukum Bagi Zippelius, keadilan adalah orientasi moral dari sistem hukum. Hukum tidak boleh dipahami hanya sebagai kumpulan norma yang sah secara formal, tetapi juga harus mencerminkan cita-cita moral masyarakat. Menurutnya, keadilan adalah ukuran etis yang menilai apakah hukum positif benar-benar layak dipatuhi. Artinya, hukum yang adil bukan sekadar hukum yang dibuat oleh lembaga berwenang, melainkan hukum yang sesuai dengan prinsip moral universal dan kemanusiaan. “Keadilan bukanlah produk logika hukum, tetapi hasil refleksi moral manusia yang hidup di dalam masyarakat.” – Reinhold Zippelius, Rechtsphilosophie. Hukum yang Hidup (Lebendiges Recht) Salah satu gagasan utama Zippelius adalah konsep “hukum yang hidup” (lebendiges Recht). Menurutnya, hukum bukan sekadar sistem aturan tertulis, melainkan juga praktik sosial yang terus berkembang di tengah masyarakat. Dengan demikian, keadilan juga bersifat dinamis ia berubah mengikuti perubahan kesadaran sosial, budaya, dan nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat. Contohnya, prinsip keadilan di masa feodal (yang mengakui hierarki sosial) tentu berbeda dengan keadilan di era demokrasi modern (yang menuntut kesetaraan hak). Keadilan dan Rasionalitas dalam Penegakan Hukum Zippelius menekankan bahwa keadilan hanya bisa diwujudkan jika hukum ditegakkan secara rasional dan komunikatif. Ia menolak pandangan positivistik yang melihat hukum sebagai sistem tertutup dan kaku. Sebaliknya, menurut Zippelius, hukum harus terbuka terhadap kritik moral dan sosial, karena hanya dengan begitu hukum dapat menjawab kebutuhan masyarakat. Keadilan yang sejati menurutnya melibatkan: Rasionalitas hukum — hukum harus logis, konsisten, dan dapat dipahami oleh publik. Komunikasi sosial — hukum harus mencerminkan nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat. Keterbukaan moral — hukum harus dapat dikritik jika melanggar prinsip kemanusiaan. Keadilan dan Dinamika Sosial Zippelius berpandangan bahwa keadilan bukanlah hasil akhir, tetapi proses yang berkelanjutan. Proses ini terjadi melalui interaksi antara hukum, moral, dan masyarakat, di mana setiap generasi berhak menafsirkan kembali makna keadilan sesuai dengan tantangan zamannya. Dalam konteks modern, misalnya, keadilan kini mencakup isu-isu baru seperti: Hak digital dan privasi, Keadilan lingkungan (environmental justice), Keadilan gender dan kesetaraan sosial, Hak minoritas dan kelompok rentan. Zippelius menegaskan bahwa hukum yang adil adalah hukum yang mampu beradaptasi dengan perubahan nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Relevansi Pemikiran Zippelius Saat Ini Dalam konteks Indonesia, gagasan Zippelius tentang hukum yang hidup dan keadilan yang dinamis sangat relevan. Prinsip tersebut sejalan dengan konsep “hukum yang hidup di masyarakat” (living law) yang diakui dalam sistem hukum nasional. Misalnya, penerapan hukum adat, penyelesaian sengketa sosial berbasis musyawarah, dan pendekatan keadilan restoratif merupakan wujud nyata dari pandangan Zippelius bahwa hukum harus berakar pada kehidupan sosial dan nilai-nilai kemanusiaan. (Gholib) Referensi: Zippelius, Reinhold. Rechtsphilosophie. München: C.H. Beck Verlag, 1999. Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. Harvard University Press, 1945. Rawls, John. A Theory of Justice. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971. Fuller, Lon L. The Morality of Law. Yale University Press, 1964.  

Teori Keadilan Menurut John Rawls: Membangun Keseimbangan antara Kebebasan dan Kesetaraan

Wamena, John Rawls (1921–2002) adalah salah satu filsuf politik paling berpengaruh di abad ke-20, terutama melalui karyanya A Theory of Justice (1971). Ia mengusulkan konsep “keadilan sebagai fairness” (justice as fairness), yang menjadi tonggak penting dalam filsafat politik modern. Berbeda dengan Jeremy Bentham yang menilai keadilan dari kemanfaatan terbesar, Rawls menekankan bahwa keadilan harus memastikan kebebasan yang sama dan perlakuan adil bagi semua warga negara, terutama mereka yang berada dalam posisi sosial paling lemah. Baca Juga : Teori Keadilan Menurut Plato: Harmoni Jiwa dan Negara dalam Filsafat Klasik Yunani Latar Belakang Pemikiran John Rawls John Rawls lahir di Baltimore, Amerika Serikat, dan mengajar di Harvard University. Pemikirannya lahir sebagai reaksi terhadap utilitarianisme, yang menurutnya sering mengorbankan hak-hak individu demi kepentingan mayoritas. Melalui A Theory of Justice, Rawls mencoba mendamaikan dua nilai besar dalam demokrasi modern: Kebebasan individual (liberty), dan Kesetaraan sosial (equality). Ia berusaha membangun teori moral dan politik yang adil, rasional, dan dapat diterima oleh semua orang, terlepas dari posisi sosial mereka. Konsep Keadilan sebagai Fairness Rawls mendefinisikan keadilan sebagai fairness, yaitu keadaan di mana prinsip-prinsip dasar masyarakat disusun sedemikian rupa sehingga setiap individu memiliki kesempatan yang sama dan kebebasan yang setara. Untuk memahami konsep ini, Rawls menggunakan dua gagasan penting: Original Position (Posisi Asal) Veil of Ignorance (Selubung Ketidaktahuan) Dalam Original Position, setiap orang diminta membayangkan bahwa mereka sedang menyusun aturan dasar bagi masyarakat, tetapi mereka berada di bawah “veil of ignorance”, artinya: Tidak tahu posisi sosialnya, Tidak tahu ras, jenis kelamin, atau kemampuan pribadinya, Tidak tahu apakah mereka akan lahir kaya atau miskin. Dari situ, kata Rawls, aturan yang adil adalah aturan yang akan disetujui semua orang dalam kondisi netral seperti itu, karena tidak ada yang tahu apakah mereka akan berada di posisi beruntung atau tidak. Dua Prinsip Keadilan John Rawls Rawls merumuskan dua prinsip utama keadilan yang menjadi dasar bagi semua struktur sosial: Prinsip Kebebasan yang Sama (Equal Liberty Principle) Setiap orang berhak atas kebebasan dasar yang sama, seperti: kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, hak memilih dan dipilih, hak atas kepemilikan pribadi, dan kebebasan dari penindasan. Kebebasan ini tidak boleh dikorbankan demi keuntungan sosial atau ekonomi pihak lain. Prinsip Perbedaan (Difference Principle) Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi boleh ada hanya jika membawa manfaat bagi mereka yang paling tidak beruntung dalam masyarakat. Dengan kata lain, sistem sosial boleh menciptakan perbedaan kelas, tetapi keadilan mengharuskan bahwa kesenjangan itu tetap meningkatkan kesejahteraan kelompok lemah. Rawls juga menambahkan prinsip kesempatan yang adil (Fair Equality of Opportunity) bahwa setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk meraih posisi sosial tertentu, tanpa diskriminasi ras, ekonomi, atau keturunan. Keadilan dan Struktur Dasar Masyarakat Bagi Rawls, keadilan tidak hanya tentang hubungan antarindividu, tetapi juga tentang struktur dasar masyarakat yaitu cara lembaga-lembaga publik, hukum, dan kebijakan didesain. Hukum dan kebijakan publik harus diuji berdasarkan: Apakah mereka menjaga kebebasan dasar warga negara, dan Apakah mereka memperbaiki nasib kelompok yang paling lemah. Dengan begitu, teori Rawls menjadi dasar penting bagi negara kesejahteraan (welfare state) dan kebijakan redistribusi sosial. Baca juga : Teori Keadilan Menurut Aristoteles: Antara Kesetaraan, Kelayakan, dan Tujuan Moral dalam Kehidupan Sosial Kritik terhadap Teori Keadilan Rawls Meskipun berpengaruh luas, teori Rawls juga menghadapi kritik dari berbagai arah: Robert Nozick, dalam Anarchy, State, and Utopia (1974), menilai bahwa teori Rawls terlalu mengekang kebebasan individu, terutama dalam kepemilikan ekonomi. Filsuf komunitarian seperti Michael Sandel dan Alasdair MacIntyre berpendapat bahwa Rawls terlalu individualistik, dan gagal memperhitungkan nilai-nilai sosial dan budaya komunitas. Dari perspektif feminis, Rawls dianggap belum cukup menyoroti keadilan gender dalam struktur sosial. Namun demikian, pemikiran Rawls tetap menjadi landasan utama dalam teori keadilan modern, terutama di bidang hukum, politik, dan etika publik. Relevansi Pemikiran Rawls di Era Modern Pemikiran John Rawls sangat relevan dalam konteks pembangunan demokrasi dan kebijakan sosial kontemporer. Dalam dunia yang penuh ketimpangan sosial dan ekonomi, prinsip Rawls membantu menilai apakah suatu kebijakan benar-benar adil. Contohnya: Subsidi pendidikan dan kesehatan untuk kelompok miskin, Pajak progresif untuk pemerataan kesejahteraan, dan Kebijakan afirmatif (affirmative action) untuk memperluas kesempatan bagi kelompok tertinggal. Semua itu sejalan dengan prinsip Rawls bahwa ketidaksetaraan hanya dapat dibenarkan bila menguntungkan pihak yang paling lemah. (Gholib) Referensi: Rawls, John. A Theory of Justice. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971. Rawls, John. Political Liberalism. New York: Columbia University Press, 1993. Nozick, Robert. Anarchy, State, and Utopia. New York: Basic Books, 1974. Sandel, Michael J. Liberalism and the Limits of Justice. Cambridge University Press, 1982. Beitz, Charles R. Political Theory and International Relations. Princeton University Press, 1979.

Teori Keadilan Menurut Jeremy Bentham: Ukuran Kebahagiaan untuk Semua

Wamena, Jeremy Bentham (1748–1832) dikenal sebagai pelopor aliran utilitarianisme dalam filsafat moral dan hukum. Ia menolak pandangan metafisik tentang keadilan dan menggantinya dengan pendekatan yang rasional, empiris, dan berbasis manfaat sosial. Bagi Bentham, keadilan tidak diukur dari moralitas abstrak, melainkan dari sejauh mana hukum dan kebijakan mampu menciptakan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak (the greatest happiness of the greatest number). Baca Juga : Teori Keadilan Menurut Plato: Harmoni Jiwa dan Negara dalam Filsafat Klasik Yunani Latar Belakang Pemikiran Jeremy Bentham Bentham hidup di Inggris pada masa pencerahan (Enlightenment) era ketika rasionalitas dan ilmu pengetahuan mulai menggantikan dogma-dogma lama. Ia menentang sistem hukum Inggris yang kaku dan penuh keistimewaan kelas sosial, serta menilai bahwa hukum harus berpihak pada kesejahteraan manusia secara umum. Pemikirannya dituangkan dalam karya monumental seperti: An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789), dan The Theory of Legislation (1830). Kedua karya ini menjadi fondasi teori hukum modern yang menekankan bahwa tujuan utama hukum adalah kebahagiaan masyarakat. Konsep Keadilan dalam Pandangan Bentham Dalam pandangan Bentham, keadilan identik dengan kemanfaatan (utility). Ia menolak konsep keadilan yang bersifat absolut atau ilahi, seperti dalam pemikiran Thomas Aquinas atau filsuf skolastik lainnya. Menurut Bentham: “Nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters, pain and pleasure.” (Alam menempatkan manusia di bawah dua penguasa utama: kesenangan dan penderitaan.) Dengan demikian, hukum yang adil adalah hukum yang meminimalkan penderitaan dan memaksimalkan kebahagiaan manusia. Keadilan bagi Bentham bersifat pragmatis dan terukur: apa pun yang memberikan hasil positif bagi kesejahteraan masyarakat dianggap adil, sedangkan yang menimbulkan penderitaan dianggap tidak adil. Prinsip Utilitas: Dasar Keadilan Bentham Teori keadilan Bentham berakar pada Prinsip Utilitas (Utility Principle), yaitu pandangan bahwa nilai moral suatu tindakan diukur dari akibatnya terhadap kebahagiaan manusia. Ia mengembangkan kalkulus kebahagiaan (felicific calculus) cara mengukur tingkat manfaat suatu tindakan dengan mempertimbangkan tujuh unsur: Intensitas (intensity) – seberapa kuat kebahagiaan yang dihasilkan. Durasi (duration) – seberapa lama kebahagiaan itu berlangsung. Kepastian (certainty) – sejauh mana hasilnya dapat dipastikan. Kedekatan (propinquity) – seberapa cepat kebahagiaan itu dirasakan. Kesuburan (fecundity) – apakah kebahagiaan itu akan menimbulkan kebahagiaan lain. Kemurnian (purity) – sejauh mana kebahagiaan itu bebas dari penderitaan. Cakupan (extent) – berapa banyak orang yang terpengaruh oleh tindakan itu. Dengan sistem ini, Bentham berusaha membuat moralitas dan hukum menjadi objektif, rasional, dan dapat dihitung. Keadilan dan Hukum Positif Bentham dikenal sebagai positivis hukum awal, meski berbeda dari John Austin yang kemudian menyempurnakan teori hukum positif. Ia percaya bahwa hukum harus dibuat oleh manusia untuk manusia, bukan berdasarkan tradisi, agama, atau metafisika. Menurutnya, tujuan hukum adalah kemanfaatan sosial, bukan kesetiaan terhadap prinsip moral tertentu. Hukum yang tidak bermanfaat bagi masyarakat tidak memiliki nilai keadilan. Bagi Bentham, reformasi hukum diperlukan agar hukum benar-benar melayani kepentingan umum, bukan kepentingan kelompok atau penguasa. Inilah sebabnya ia sering disebut “reformer of law” tokoh yang mengubah cara berpikir tentang hukum dari yang normatif menjadi empiris dan utilitarian. Kritik terhadap Pandangan Bentham Meskipun revolusioner, teori keadilan Bentham tidak lepas dari kritik. Beberapa filsuf, seperti John Stuart Mill, muridnya sendiri, berpendapat bahwa Bentham terlalu mekanistis dan mengabaikan kualitas moral dari kebahagiaan. Kritik lainnya datang dari filsafat deontologi, seperti Immanuel Kant, yang menilai bahwa keadilan tidak boleh diukur hanya dari akibatnya, tetapi juga dari niat dan kewajiban moral. Namun demikian, warisan Bentham tetap bertahan karena berhasil memberikan dasar praktis bagi pembentukan hukum dan kebijakan publik yang berpihak pada kesejahteraan umum. Baca Juga : Teori Keadilan Menurut Aristoteles: Antara Kesetaraan, Kelayakan, dan Tujuan Moral dalam Kehidupan Sosial Relevansi Pemikiran Bentham di Era Modern Pemikiran Bentham sangat relevan dalam konteks hukum modern dan kebijakan publik. Konsep the greatest happiness principle menjadi inspirasi bagi: hukum pidana modern (penentuan hukuman berdasarkan efek sosial), ekonomi kesejahteraan (welfare economics), dan analisis kebijakan berbasis manfaat (cost-benefit analysis). Dalam konteks Indonesia, prinsip utilitarianisme Bentham tercermin dalam tujuan negara dalam Pembukaan UUD 1945, yakni “mewujudkan kesejahteraan umum”. Dengan demikian, keadilan bukan hanya soal hukum formal, tetapi juga tentang kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat luas. (Gholib) Referensi: Bentham, Jeremy. An Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Oxford: Clarendon Press, 1789. Bentham, Jeremy. The Theory of Legislation. London: Trübner & Co., 1830. Mill, John Stuart. Utilitarianism. London: Parker, Son, and Bourn, 1863. Hart, H.L.A. Essays on Bentham: Jurisprudence and Political Theory. Oxford University Press, 1982

Teori Keadilan Menurut Gustav Radbruch: Antara Hukum Positif dan Moralitas Kemanusiaan

Wamena, Gustav Radbruch (1878–1949) adalah seorang filsuf hukum asal Jerman yang dikenal sebagai tokoh penting dalam filsafat hukum abad ke-20. Pemikirannya tentang keadilan dan hukum positif menjadi sangat berpengaruh, terutama setelah tragedi Perang Dunia II dan kekejaman rezim Nazi di Jerman. Melalui karya dan refleksinya, Radbruch memperkenalkan sebuah teori hukum yang kemudian dikenal sebagai “Formula Radbruch” (Radbruchsche Formel) gagasan yang berupaya menyeimbangkan antara kepastian hukum (Rechtssicherheit) dan keadilan moral (Gerechtigkeit). Pandangan ini menandai titik balik besar dalam sejarah filsafat hukum: bahwa hukum tidak boleh lepas dari nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Baca Juga : Teori Keadilan Menurut Aristoteles: Antara Kesetaraan, Kelayakan, dan Tujuan Moral dalam Kehidupan Sosial Latar Belakang Pemikiran Gustav Radbruch Gustav Radbruch hidup di masa-masa sulit sejarah Jerman, saat hukum sering digunakan sebagai alat kekuasaan oleh rezim totaliter. Sebagai profesor hukum dan politisi dari Partai Sosial Demokrat, Radbruch menyaksikan bagaimana hukum positif digunakan untuk melegalkan ketidakadilan, terutama di bawah kekuasaan Nazi. Pengalaman inilah yang membuatnya kemudian mengkritik positivisme hukum murni, seperti yang dianut oleh Hans Kelsen, dan menegaskan pentingnya nilai keadilan dalam hukum. Menurut Radbruch, hukum tidak bisa hanya dipahami sebagai sistem norma yang sah secara formal. Sebaliknya, hukum juga harus mengandung unsur moral dan tujuan kemanusiaan. Konsep Tiga Nilai Dasar Hukum Menurut Radbruch Dalam filsafat hukumnya, Radbruch mengemukakan bahwa hukum memiliki tiga nilai fundamental yang harus dijaga secara seimbang: Keadilan (Gerechtigkeit) – hukum harus memberikan hak yang sama kepada setiap orang. Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) – hukum harus memberikan ketertiban dan prediktabilitas dalam masyarakat. Kemanfaatan atau Tujuan Sosial (Zweckmäßigkeit) – hukum harus berfungsi untuk kesejahteraan masyarakat. Namun, menurut Radbruch, keadilan adalah nilai tertinggi di antara ketiganya. Bila terjadi pertentangan antara hukum positif dan keadilan moral, maka keadilan harus diutamakan. “Where law reaches intolerable injustice, it must yield to justice.” (Ketika hukum mencapai tingkat ketidakadilan yang tak tertahankan, maka hukum itu harus tunduk kepada keadilan.) Formula Radbruch: Ketika Hukum Tidak Lagi Adil Radbruch merumuskan pandangan terkenalnya setelah melihat hukum Nazi yang secara formal sah, tetapi sangat tidak adil dan melanggar kemanusiaan. Dari situ lahirlah Radbruchsche Formel (Formula Radbruch), yang berbunyi: “The conflict between justice and legal certainty should be resolved in favor of positive law, unless the law is so unjust that it ceases to be law.” Artinya, kepastian hukum harus dijaga, kecuali jika hukum tersebut terlalu tidak adil sehingga tidak layak disebut sebagai hukum. Dengan formula ini, Radbruch menegaskan bahwa hukum tidak boleh dijadikan alat untuk menindas manusia. Ketika hukum kehilangan nilai moralnya, maka ia kehilangan hakikatnya sebagai hukum. Keadilan Menurut Gustav Radbruch Menurut Radbruch, keadilan bukanlah sekadar konsep abstrak, melainkan tujuan moral dari hukum itu sendiri. Ia mendefinisikan keadilan sebagai: “Keadilan adalah perlakuan yang sama bagi yang sama, dan perlakuan yang berbeda bagi yang berbeda, sejauh perbedaan itu dapat dibenarkan secara rasional.” Keadilan menuntut bahwa setiap individu diperlakukan secara setara di hadapan hukum, tetapi juga mengakui bahwa setiap orang memiliki kondisi dan kebutuhan yang berbeda. Dengan demikian, hukum yang adil adalah hukum yang menghormati martabat manusia (human dignity) dan mengabdi pada kemanusiaan. Kritik terhadap Positivisme Hukum Radbruch menganggap bahwa positivisme hukum, seperti yang diajarkan oleh Kelsen, berpotensi mendewakan hukum formal tanpa memperhatikan keadilan substantif. Hal ini terbukti pada masa Nazi, ketika kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan atas dasar hukum yang sah. Bagi Radbruch, kesalahan terbesar positivisme adalah menganggap hukum dan keadilan sebagai dua hal yang terpisah. Ia menegaskan bahwa hukum yang tidak adil secara ekstrem bukanlah hukum sama sekali (“extreme injustice is no law at all”). Dengan demikian, keadilan adalah ukuran moral yang menentukan apakah suatu norma benar-benar pantas disebut sebagai hukum. Baca Juga : Teori Keadilan Menurut Plato: Harmoni Jiwa dan Negara dalam Filsafat Klasik Yunani Relevansi Pemikiran Radbruch di Era Modern Pemikiran Radbruch tetap relevan hingga saat ini, terutama dalam konteks penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM). Formula Radbruch menjadi dasar penting dalam pengadilan Jerman pasca-Perang Dunia II, terutama dalam menuntut para pelaku kejahatan Nazi yang bersembunyi di balik “hukum yang sah”. Dalam konteks Indonesia, semangat pemikiran Radbruch dapat ditemukan dalam prinsip negara hukum (rule of law) yang menempatkan keadilan sosial dan kemanusiaan di atas formalitas hukum. (Gholib) Referensi: Radbruch, Gustav. Gesetzliches Unrecht und Übergesetzliches Recht (1946). Radbruch, Gustav. Einführung in die Rechtswissenschaft. Stuttgart: Koehler, 1958. Fuller, Lon L. The Morality of Law. Yale University Press, 1964. Hart, H.L.A. The Concept of Law. Oxford: Clarendon Press, 1961. Friedman, W. Legal Theory. London: Stevens & Sons, 1960. Asshiddiqie, Jimly. Hukum dan Teori Keadilan. Jakarta: Konstitusi Press, 2015. Lloyd, Dennis. The Idea of Law. Penguin Books, 1964.

Teori Keadilan Menurut Thomas Aquinas: Harmoni Antara Hukum Ilahi dan Akal Manusia

Wamena, Dalam sejarah filsafat hukum, Thomas Aquinas (1225–1274) merupakan salah satu pemikir besar yang berhasil memadukan ajaran agama dengan filsafat rasional. Pemikiran Aquinas tentang keadilan menjadi landasan penting bagi teori hukum alam (natural law theory) dan masih berpengaruh dalam sistem hukum modern hingga kini. Aquinas berupaya menjelaskan bahwa keadilan bukan hanya urusan sosial atau hukum, melainkan juga dimensi moral dan spiritual yang bersumber dari Tuhan. Dengan demikian, memahami konsep keadilan menurut Thomas Aquinas berarti memahami bagaimana hukum, moral, dan keimanan saling berkaitan secara harmonis. Baca Juga : Teori Keadilan Menurut Plato: Harmoni Jiwa dan Negara dalam Filsafat Klasik Yunani Latar Belakang Pemikiran Thomas Aquinas Thomas Aquinas adalah seorang teolog dan filsuf Katolik dari Italia yang mengembangkan ajaran Skolastisisme, yaitu pendekatan filsafat yang menggabungkan ajaran iman dan rasio. Ia sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles, terutama dalam hal etika dan politik, tetapi menyesuaikannya dengan ajaran Kristen. Menurut Aquinas, tujuan tertinggi manusia adalah mencapai “bonum commune” atau kebaikan bersama, dan keadilan merupakan sarana utama untuk mencapainya. Hukum, dalam pandangan Aquinas, adalah sarana untuk menuntun manusia kepada kebaikan moral. Oleh karena itu, hukum yang adil harus sejalan dengan hukum alam (lex naturalis) dan hukum ilahi (lex divina). Pengertian Keadilan Menurut Thomas Aquinas Dalam karya monumentalnya, Summa Theologica, Aquinas mendefinisikan keadilan sebagai: “Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi.” (Keadilan adalah kehendak tetap dan terus-menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.) Dengan definisi ini, Aquinas menegaskan bahwa keadilan bersifat moral dan rasional. Keadilan bukan hanya persoalan aturan hukum, tetapi tindakan manusia yang mencerminkan kebajikan dan tanggung jawab terhadap sesama. Macam-Macam Keadilan Menurut Thomas Aquinas Aquinas mengembangkan pandangan Aristoteles tentang tiga jenis keadilan, yaitu: Keadilan Komutatif (Commutative Justice) Keadilan ini mengatur hubungan antara individu satu dengan individu lain. Tujuannya adalah menjaga keseimbangan dan kesetaraan dalam pertukaran. Contohnya: transaksi jual beli, perjanjian, atau ganti rugi. Keadilan Distributif (Distributive Justice) Keadilan distributif mengatur bagaimana pemerintah atau otoritas membagikan sumber daya, penghargaan, atau beban kepada masyarakat berdasarkan proporsinya masing-masing. Contohnya: pemberian tunjangan sosial atau penetapan pajak sesuai kemampuan. Keadilan Legal (Legal Justice) Keadilan legal adalah kewajiban individu untuk mematuhi hukum dan berkontribusi pada kesejahteraan umum (bonum commune). Bentuknya bisa berupa kepatuhan terhadap aturan negara, menjaga ketertiban sosial, hingga partisipasi aktif dalam kehidupan bernegara. Keadilan, Hukum, dan Akal Budi Thomas Aquinas menempatkan akal budi manusia (ratio) sebagai instrumen utama untuk memahami keadilan. Menurutnya, manusia memiliki kemampuan rasional untuk mengenali kebaikan dan keburukan, karena akal budi adalah bagian dari hukum alam yang berasal dari Tuhan. Dari sini muncul tiga tingkatan hukum dalam pemikiran Aquinas: Lex Aeterna (Hukum Kekal): Hukum abadi yang berasal langsung dari kehendak Tuhan dan menjadi dasar bagi seluruh tatanan ciptaan. Lex Naturalis (Hukum Alam) Refleksi dari hukum kekal yang dapat diketahui oleh akal manusia. Inilah sumber utama dari keadilan moral dan hukum positif. Lex Humana (Hukum Manusia): Peraturan konkret yang dibuat manusia untuk mengatur kehidupan sosial, tetapi tidak boleh bertentangan dengan hukum alam. Dengan demikian, hukum manusia hanya sah jika sesuai dengan hukum moral dan hukum Tuhan. Jika suatu hukum bertentangan dengan keadilan moral, maka menurut Aquinas, hukum itu bukanlah hukum sejati (lex iniusta non est lex). Keadilan Sebagai Cerminan Kehendak Tuhan Thomas Aquinas melihat keadilan bukan hanya sebagai urusan duniawi, melainkan bagian dari rencana Ilahi. Setiap tindakan manusia yang adil adalah bentuk partisipasi dalam kehendak Tuhan yang Mahaadil. Dalam konteks ini, keadilan memiliki dimensi spiritual, karena membawa manusia menuju tujuan akhir: kesempurnaan moral dan kebahagiaan abadi (beatitudo). “To live justly is to live according to God’s law.” (Hidup dengan adil berarti hidup sesuai dengan hukum Tuhan.) Baca juga : Teori Keadilan Menurut Aristoteles: Antara Kesetaraan, Kelayakan, dan Tujuan Moral dalam Kehidupan Sosial Relevansi Pemikiran Thomas Aquinas di Era Modern Pemikiran Aquinas tetap relevan untuk memahami hubungan antara hukum, moral, dan keadilan sosial di masa kini. Dalam konteks negara hukum modern, ajarannya menjadi dasar bagi konsep rule of law yang bermoral, di mana keadilan tidak hanya diukur dari kepatuhan terhadap hukum, tetapi juga dari nilai kemanusiaan dan etika yang mendasarinya. Contoh penerapannya dapat dilihat dalam prinsip hak asasi manusia, kebebasan beragama, serta keadilan sosial sebagaimana diatur dalam berbagai konstitusi modern. (Gholib) Referensi: Thomas Aquinas. Summa Theologica. Translated by Fathers of the English Dominican Province. New York: Benziger Bros., 1947. Finnis, John. Natural Law and Natural Rights. Oxford: Clarendon Press, 1980. George, Robert P. In Defense of Natural Law. Oxford: Oxford University Press, 1999. Copleston, Frederick. A History of Philosophy: Medieval Philosophy (Vol. II). London: Continuum, 1993. Jimly Asshiddiqie. Hukum dan Keadilan Sosial. Jakarta: Konstitusi Press, 2018.

Teori Keadilan Menurut Jacques Derrida: Antara Dekonstruksi, Etika, dan Ketidakmungkinan Hukum yang Sempurna

Wamena, Dalam sejarah filsafat hukum, pembahasan tentang keadilan (justice) selalu menjadi tema sentral. Namun, pemikir poststrukturalis asal Prancis, Jacques Derrida (1930–2004), menghadirkan perspektif yang sangat berbeda. Derrida, yang dikenal dengan gagasan “dekonstruksi”, menolak pandangan klasik bahwa keadilan dapat didefinisikan secara tetap dan objektif. Menurutnya, keadilan bukanlah sesuatu yang bisa ditetapkan oleh hukum secara final, melainkan sebuah cita-cita etis yang terus menuntut pembaharuan dan refleksi kritis terhadap hukum itu sendiri. Baca juga : Teori Keadilan Menurut Aristoteles: Antara Kesetaraan, Kelayakan, dan Tujuan Moral dalam Kehidupan Sosial Latar Pemikiran: Dekonstruksi dan Kritik terhadap Hukum Positivis Pemikiran Derrida banyak dipengaruhi oleh Martin Heidegger dan Emmanuel Levinas. Ia mengkritik filsafat Barat yang terlalu mengandalkan rasionalitas dan struktur bahasa yang kaku. Dalam konteks hukum, Derrida menilai bahwa sistem hukum modern sering kali mengklaim objektivitas, padahal sesungguhnya berakar pada interpretasi dan kekuasaan. Melalui esai terkenalnya, Force of Law: The “Mystical Foundation of Authority” (1990), Derrida menyatakan bahwa: “Law (droit) is deconstructible, but justice is not.” (Hukum dapat didekonstruksi, tetapi keadilan tidak.) Pernyataan ini menjadi pondasi utama pemikiran Derrida tentang keadilan: hukum bersifat sementara dan bisa berubah, sedangkan keadilan bersifat tak terhingga, tak terukur, dan selalu melampaui hukum. Dekonstruksi terhadap Keadilan: Antara Hukum dan Etika Hukum sebagai Sistem yang Dapat Didekonstruksi Menurut Derrida, hukum (law) merupakan sistem aturan yang dibangun manusia. Karena dibentuk melalui bahasa dan institusi sosial, hukum selalu bersifat relatif, historis, dan politis. Artinya, setiap hukum lahir dalam konteks kekuasaan tertentu dan membawa bias ideologis. Dengan demikian, hukum tidak pernah netral. Ia bisa menjadi alat kekuasaan jika tidak dikritisi secara etis. Dekonstruksi berfungsi untuk membongkar asumsi tersembunyi dalam hukum, seperti klaim objektivitas atau kebenaran mutlak. Keadilan sebagai Sesuatu yang Tak Terbatas Sebaliknya, keadilan (justice), bagi Derrida, tidak bisa didefinisikan atau dibatasi oleh hukum. Keadilan adalah ide yang tak pernah selesai, selalu menuntut interpretasi ulang, empati, dan tanggung jawab etis terhadap “yang lain” (the Other). “Justice is the experience of the impossible.” (Keadilan adalah pengalaman terhadap sesuatu yang mustahil.) Makna “mustahil” di sini bukan berarti keadilan tidak mungkin ada, tetapi tidak pernah final — keadilan selalu menuntut perbaikan dan pembaruan terus-menerus dalam sistem hukum. Keadilan sebagai Tanggung Jawab terhadap ‘Yang Lain’ Terinspirasi oleh Levinas, Derrida menekankan bahwa keadilan sejati harus berakar pada tanggung jawab etis terhadap orang lain. Keadilan bukan soal menerapkan hukum secara formal, melainkan menyadari kemanusiaan dalam setiap keputusan. Misalnya, hakim yang adil bukanlah hakim yang sekadar mengikuti teks undang-undang, melainkan hakim yang mampu menimbang situasi konkret manusia di hadapannya. Dengan demikian, keputusan adil adalah keputusan yang sadar akan keterbatasannya sendiri, dan selalu terbuka terhadap koreksi moral. Hukum, Kekerasan, dan Otoritas: Kritik Derrida terhadap Fondasi Hukum Dalam Force of Law, Derrida juga mengungkap paradoks mendasar dalam hukum, yaitu: Hukum memperoleh otoritasnya dari kekerasan awal (founding violence) seperti revolusi, perang, atau penaklukan; Namun hukum kemudian mengklaim legitimasi moral dan rasionalitas sebagai dasar keberadaannya. Paradoks inilah yang disebut Derrida sebagai “mistik dasar otoritas” (mystical foundation of authority). Artinya, hukum yang tampak rasional sebenarnya berdiri di atas fondasi irasional dan politis. Oleh karena itu, hukum harus selalu dikritik, didekonstruksi, dan diperbarui agar tidak menjadi alat kekuasaan yang menindas. Dekonstruksi sebagai Jalan Menuju Keadilan Dekonstruksi bukanlah upaya menghancurkan hukum, melainkan membuka kemungkinan baru bagi keadilan. Dengan mendekonstruksi hukum, Derrida ingin menunjukkan bahwa: Tidak ada sistem hukum yang benar-benar final; Setiap putusan hukum adalah tindakan interpretasi moral; Keadilan sejati memerlukan kerendahan hati epistemologis, yaitu kesadaran bahwa keputusan hukum bisa salah dan harus selalu diperbaiki. Baca Juga : Teori Keadilan Menurut Plato: Harmoni Jiwa dan Negara dalam Filsafat Klasik Yunani Relevansi Pemikiran Derrida bagi Hukum Kontemporer Pemikiran Derrida sangat relevan dalam konteks hukum modern, terutama dalam isu-isu seperti: Hak asasi manusia yang memerlukan pendekatan moral di luar teks hukum positif; Keadilan transisional misalnya dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu; Etika profesi hukum yang menuntut kesadaran atas kekuasaan dan tanggung jawab dalam setiap keputusan. Dalam dunia yang semakin kompleks dan plural, Derrida mengingatkan bahwa keadilan bukan soal kepastian hukum, tetapi tentang keterbukaan terhadap keunikan setiap manusia. (Gholib) Referensi: Derrida, Jacques. Force of Law: The “Mystical Foundation of Authority.” In Deconstruction and the Possibility of Justice. Eds. Drucilla Cornell, Michel Rosenfeld, and David Gray Carlson. New York: Routledge, 1992. Derrida, Jacques. Specters of Marx: The State of the Debt, the Work of Mourning, and the New International. New York: Routledge, 1994. Caputo, John D. The Prayers and Tears of Jacques Derrida: Religion without Religion. Indiana University Press, 1997.