Mataram Islam dan Dinasti Pewarisnya: Jejak Hamengku Buwono, Paku Buwono, Paku Alam, dan Mangkunegara dalam Sejarah Nusantara
Wamena, Kerajaan Mataram Islam merupakan salah satu kerajaan besar yang meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah politik, budaya, dan spiritual Nusantara. Kerajaan ini bukan hanya berperan sebagai pusat kekuasaan politik, tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai Islam, adat Jawa, serta budaya istana yang agung. Setelah masa kejayaan di bawah pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, Mataram mengalami perpecahan internal yang melahirkan empat dinasti besar pewarisnya: Kasultanan Yogyakarta (Hamengku Buwono), Kasunanan Surakarta (Paku Buwono), Kadipaten Pakualaman (Paku Alam), dan Kadipaten Mangkunegaran (Mangkunegara). Baca juga : Sahabat Nabi Ke-2: Umar bin Khattab Sang Amirul Mukminin Penegak Keadilan dan Simbol Kepemimpinan Islam Latar Belakang: Dari Kerajaan Mataram ke Dua Kasunanan Kerajaan Mataram Islam berdiri pada akhir abad ke-16 di bawah kepemimpinan Panembahan Senopati (1587–1601), dan mencapai puncak kejayaan pada masa Sultan Agung (1613–1645). Namun setelah masa itu, terjadi konflik perebutan kekuasaan di antara keturunan raja yang melemahkan stabilitas kerajaan. Puncak perpecahan terjadi pada Perjanjian Giyanti tahun 1755, yang membagi Mataram menjadi dua kekuasaan: Kasunanan Surakarta di bawah Paku Buwono III, dan Kasultanan Yogyakarta di bawah Hamengku Buwono I. Kemudian muncul dua entitas tambahan: Kadipaten Mangkunegaran (1757) di bawah Mangkunegara I (Raden Mas Said), Kadipaten Pakualaman (1813) di bawah Paku Alam I. Hamengku Buwono: Simbol Kemegahan Kasultanan Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono I (Sri Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah) adalah pendiri Kasultanan Yogyakarta. Beliau dikenal sebagai pemimpin visioner yang mampu memadukan nilai-nilai Islam dengan budaya Jawa klasik. Hamengku Buwono I membangun Keraton Yogyakarta pada tahun 1756 dan menjadikannya pusat pemerintahan, budaya, serta spiritual masyarakat Jawa bagian selatan. Ia menegakkan prinsip manunggaling kawula gusti kesatuan antara rakyat dan pemimpin yang berlandaskan keadilan dan ketuhanan. Selain itu, ia juga memperkuat sistem pemerintahan dan seni budaya istana seperti tari bedhaya, batik keraton, dan arsitektur Jawa-Islam. Paku Buwono: Pewaris Legitimasi Mataram di Surakarta Paku Buwono III (1749–1788) menjadi raja pertama Kasunanan Surakarta setelah pecahnya Mataram. Dengan dukungan VOC (Belanda), Surakarta memperoleh kekuasaan formal atas sebagian wilayah Mataram. Namun, pengaruh Belanda di dalam kerajaan semakin besar, membuat kedaulatan kerajaan melemah. Meskipun demikian, para raja Paku Buwono berperan penting dalam menjaga tradisi sastra, seni, dan filsafat Jawa. Salah satu karya monumental yang lahir dari lingkungan Surakarta adalah Serat Centhini, ensiklopedia budaya dan spiritual Jawa yang agung. Paku Alam: Penghubung Politik dan Kebudayaan Kadipaten Pakualaman berdiri pada tahun 1813 setelah Inggris (yang menggantikan Belanda sementara) memberikan legitimasi kepada Paku Alam I (Natakusuma). Paku Alam memainkan peran strategis sebagai jembatan politik dan budaya antara Kasultanan Yogyakarta dan pemerintah kolonial. Walaupun berstatus kadipaten, Pakualaman memiliki otonomi luas dalam bidang kebudayaan dan pendidikan. Keturunannya, seperti Paku Alam VIII dan IX, kemudian berperan penting dalam sejarah Indonesia modern, termasuk dalam proklamasi dan pemerintahan awal Republik Indonesia. Mangkunegara: Pejuang dan Pembaharu di Surakarta Raden Mas Said atau Mangkunegara I (1725–1795) dikenal sebagai pangeran pemberontak yang berjuang melawan VOC dan Kasunanan Surakarta. Setelah perjanjian Salatiga (1757), ia diakui sebagai pemimpin Kadipaten Mangkunegaran yang berkedudukan di Pura Mangkunegaran. Berbeda dengan raja-raja lainnya, Mangkunegara menekankan militerisme, reformasi sosial, dan efisiensi pemerintahan. Ia memperkenalkan sistem administrasi modern, mengelola perkebunan, dan mengembangkan kebudayaan Jawa yang egaliter. Sampai kini, Mangkunegaran dikenal sebagai pusat budaya dan seni Jawa yang berpengaruh, terutama dalam bidang wayang, gamelan, dan tari klasik. (Gholib) Referensi: Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi, 2008. Carey, Peter. The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855. Leiden: KITLV Press, 2007. Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid II. Jakarta: Gramedia, 1996. Soemarsaid Moertono. State and Statecraft in Old Java. Cornell University Press, 1968.