Artikel KPU Kab. Jayawijaya

Krisis Air Global: Ancaman Senyap yang Mengintai Peradaban Modern

Wamena, Krisis air tidak lagi menjadi isu masa depan ia telah hadir sebagai ancaman nyata bagi miliaran penduduk dunia. Laporan-laporan internasional menunjukkan bahwa lebih dari 2 miliar orang hidup di wilayah yang mengalami kekurangan air parah setiap tahunnya. Fenomena ini menjadi semakin kompleks akibat perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan pola konsumsi industri yang terus meningkat. Dalam berbagai kajian akademik, air disebut sebagai sumber daya alam yang paling rentan mengalami konflik dan ketidakstabilan geopolitik. Baca juga : Redenominasi Rupiah: Langkah Strategis Menyederhanakan Sistem Keuangan Nasional Penyebab Utama Krisis Air Global Perubahan Iklim yang Memperparah Kekeringan Pemanasan global mengubah pola curah hujan, meningkatkan suhu, dan memperpanjang musim kering di berbagai belahan dunia. Wilayah Timur Tengah, Afrika Utara, hingga sebagian India menjadi episentrum krisis air ekstrem. Pertumbuhan Penduduk dan Urbanisasi Konsumsi air meningkat seiring pertumbuhan populasi dunia yang kini telah melebihi 8 miliar jiwa. Kota-kota besar seperti Cape Town, Chennai, dan São Paulo sudah mengalami “Day Zero”, yakni saat pasokan air nyaris habis. Eksploitasi Berlebihan untuk Industri dan Pertanian Sektor pertanian menggunakan lebih dari 70% air tawar global, sementara industri manufaktur dan energi juga meningkatkan tekanan pada sumber daya air. Pencemaran Sumber Air Aktivitas pabrik, limbah rumah tangga, dan polusi pertanian menyebabkan sungai dan danau di berbagai negara mengalami degradasi kualitas. Akibatnya, sumber air bersih makin terbatas. Dampak Krisis Air terhadap Kehidupan Manusia Ancaman Kesehatan Publik Ketiadaan akses air bersih meningkatkan risiko penyakit menular seperti kolera, diare, dan infeksi kulit. WHO menyebutkan lebih dari 500.000 kematian setiap tahun terkait air tidak layak konsumsi. Konflik Sosial dan Geopolitik Negara-negara yang berbagi sungai lintas batas, seperti Sungai Nil atau Efrat, rentan mengalami konflik perebutan sumber daya air. Krisis Pangan Ketergantungan pertanian pada irigasi menjadikan kelangkaan air sebagai ancaman langsung terhadap ketahanan pangan global. Tekanan Ekonomi Industri yang bergantung pada air berpotensi mengalami kerugian besar, mengganggu rantai pasokan, bahkan memicu inflasi makanan dan energi. Negara-Negara yang Paling Terancam Beberapa wilayah dunia berada dalam kategori “sangat kritis”, antara lain: Yaman Suriah Etiopia Mesir India (Chennai dan Delhi) Afrika Selatan (Cape Town) Kondisi mereka menjadi contoh bagaimana kombinasi krisis iklim, konflik politik, dan kemiskinan mempercepat keruntuhan sistem sumber daya air. Upaya Global Mengatasi Krisis Air Teknologi Desalinasi Negara seperti Arab Saudi, Israel, dan Uni Emirat Arab memanfaatkan teknologi desalinasi untuk mengubah air laut menjadi air minum. Namun, biayanya masih sangat tinggi. Manajemen Air Berkelanjutan Konsep water governance menekankan transparansi, akuntabilitas, dan kolaborasi antarnegara. Rehabilitasi Sungai dan Danau Program restorasi sungai dilakukan di berbagai wilayah, seperti Sungai Citarum di Indonesia dan Sungai Thames di Inggris. Efisiensi Pertanian Teknik seperti drip irrigation terbukti mampu mengurangi penggunaan air hingga 50%. Pendidikan dan Kampanye Konservasi Hemat air harus menjadi budaya global, bukan sekadar kebijakan. (Gholib) Referensi: Peter H. Gleick. The World's Water. Island Press. Sandra Postel. Last Oasis: Facing Water Scarcity. W.W. Norton & Company. Vörösmarty, C.J. et al. Global Water Resources. Cambridge University Press. UNESCO World Water Development Report. United Nations Publications.

Redenominasi Rupiah: Langkah Strategis Menyederhanakan Sistem Keuangan Nasional

Wamena, Pemerintah Indonesia kembali menghadirkan diskursus tentang redenominasi Rupiah, sebuah proses penyederhanaan nilai nominal mata uang tanpa mengubah daya belinya. Kebijakan ini, yang telah lama dibahas sejak era 2010-an, dianggap semakin relevan di tengah upaya peningkatan efisiensi sistem transaksi dan penataan struktur ekonomi nasional. Dalam beberapa literatur, redenominasi dibedakan secara jelas dari sanering, sebuah pemotongan nilai uang yang pernah dilakukan Indonesia pada masa lalu. Kebijakan redenominasi justru tidak mengurangi kekayaan masyarakat. Baca juga : Bentuk Negara Indonesia : Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan Apa Itu Redenominasi Rupiah? Redenominasi adalah pengurangan jumlah digit pada nilai mata uang, misalnya dari Rp1.000 → Rp1, Rp10.000 → Rp10, dan seterusnya. Walaupun angka nominal berubah, daya beli, gaji, nilai tabungan, dan harga barang tetap sama. Secara umum, tahapan redenominasi mencakup: Masa transisi (dual price system) Penarikan uang lama bertahap Pemberlakuan penuh uang baru Sebagai contoh, proses yang dilakukan Turki dan Rumania menunjukkan bahwa stabilitas ekonomi adalah syarat utama keberhasilan kebijakan ini. Alasan Redenominasi Menjadi Penting Pemerintah menilai redenominasi akan memberikan sejumlah manfaat strategis, antara lain: Penyederhanaan Transaksi Nominal Rupiah yang panjang sering menimbulkan kebingungan dalam transaksi besar, akuntansi, hingga sistem IT perbankan. Efisiensi Sistem Pembayaran Negara-negara yang sukses meredenominasi menunjukkan peningkatan efisiensi pada sektor perbankan dan perdagangan. Peningkatan Citra Mata Uang Redenominasi diyakini dapat meningkatkan kepercayaan investor dan memperbaiki persepsi internasional terhadap stabilitas ekonomi domestik. Mencegah Ketergantungan pada Pecahan Besar Di Indonesia, transaksi bernilai miliaran hingga triliunan membuat sistem keuangan tampak “terlalu besar” secara nominal, meskipun nilai riilnya setara negara lain. Prospek Redenominasi di Indonesia Bank Indonesia telah menegaskan bahwa redenominasi bukan kebijakan mendesak, tetapi kebijakan struktur jangka panjang. Jika diterapkan, Indonesia diperkirakan akan memasuki periode transisi 3-5 tahun. Para ekonom menyebutkan bahwa momentum terbaik untuk implementasi adalah saat: Inflasi rendah Pertumbuhan stabil Kepercayaan publik tinggi Sistem digital keuangan sudah matang Saat ini, faktor-faktor tersebut mulai menguat, sehingga wacana redenominasi kembali relevan untuk dibahas secara nasional. (Gholib) Referensi: Mishkin, Frederic S. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. Pearson. Krugman, Paul & Obstfeld, Maurice. International Economics: Theory and Policy. Pearson. Bank Indonesia. Kajian Redenominasi Rupiah. Jakarta: BI Publishing. Samuelson, Paul. Economics. McGraw-Hill.

Mangkunegara: Dinasti Pembaharu Mataram yang Menggabungkan Tradisi dan Modernitas

Wamena, Sejarah panjang Mataram Islam tidak hanya melahirkan dua kekuatan besar, yakni Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, tetapi juga memunculkan kekuatan ketiga yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan politik dan budaya Jawa, yaitu Kadipaten Mangkunegaran. Kadipaten ini berdiri pada 1757 melalui Perjanjian Salatiga, yang menjadi hasil kompromi antara Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) dengan Paku Buwono III dan VOC (Belanda). Pangeran Sambernyawa kemudian diangkat sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I, dan sejak itu lahirlah dinasti yang dikenal berjiwa reformis, militeristik, sekaligus visioner. Baca juga : Mataram Islam dan Dinasti Pewarisnya: Jejak Hamengku Buwono, Paku Buwono, Paku Alam, dan Mangkunegara dalam Sejarah Nusantara Pangeran Sambernyawa: Pendiri Kadipaten Mangkunegaran Raden Mas Said, yang kelak bergelar Mangkunegara I, adalah salah satu pangeran paling berani dan cerdas di masa pecahnya Mataram. Ia memimpin perjuangan melawan VOC dan kekuasaan Surakarta selama hampir 16 tahun. Julukan “Sambernyawa” diberikan oleh musuh-musuhnya karena keberaniannya dalam perang berarti “penyambar nyawa”. Setelah perjuangan panjang dan melelahkan, ia memilih jalan damai melalui Perjanjian Salatiga, di mana Belanda mengakui wilayah kekuasaannya sebagai Kadipaten Mangkunegaran, setara dengan kesultanan dan kasunanan. Langkah ini tidak hanya menyelamatkan rakyatnya dari perang berkepanjangan, tetapi juga menandai lahirnya kekuasaan baru yang independen secara budaya dan politik. Makna Filosofis Gelar “Mangkunegara” Secara etimologis, Mangku Negara berarti “pengemban atau penjaga negara”. Gelar ini mencerminkan tanggung jawab moral dan spiritual untuk menjaga keseimbangan antara kekuasaan, rakyat, dan Tuhan. Dalam tradisi Jawa, seorang Mangkunegara bukan hanya pemimpin politik, melainkan juga figur moral dan pelindung budaya, sebagaimana nilai-nilai kejawen yang menekankan harmoni (rukun), kebijaksanaan (waskita), dan keadilan (adil para praja). Kiprah Para Mangkunegara dari Masa ke Masa Sejak berdirinya Kadipaten Mangkunegaran, telah memerintah beberapa generasi raja yang memiliki pengaruh besar, baik dalam politik maupun kebudayaan Jawa: KGPAA Mangkunegara I (1757–1795): Pendiri kadipaten, pejuang tangguh, dan penyusun Wedhatama Sambernyawa, teks spiritual yang menekankan keseimbangan antara perjuangan duniawi dan kesucian batin. Mangkunegara II (1795–1835): Membangun struktur pemerintahan dan militer modern, serta memperkuat ekonomi dengan sistem agraria baru. Mangkunegara IV (1853–1881): Dikenal sebagai tokoh pembaharu besar. Ia mendirikan pabrik gula Colomadu dan Tasikmadu, memperkenalkan sistem kapitalisme lokal, dan menulis karya sastra monumental Wedhatama berisi ajaran moral dan spiritual Jawa yang masih populer hingga kini. Mangkunegara VII (1916–1944): Berperan penting dalam dunia pendidikan dengan mendirikan Taman Siswa bersama Ki Hajar Dewantara, serta aktif dalam gerakan kebangsaan Indonesia. Mangkunegara IX (2017–sekarang): Fokus pada pelestarian budaya, ekonomi kreatif, dan digitalisasi warisan Mangkunegaran sebagai bagian dari identitas nasional Indonesia. Peran Budaya dan Politik Mangkunegaran Keraton Mangkunegaran di Surakarta tidak hanya menjadi pusat pemerintahan, tetapi juga pusat kebudayaan Jawa yang aktif hingga kini. Kegiatan budaya seperti tari Bedhaya Anglir Mendung, Wayang Wong, dan gamelan pusaka Kyai Kanyut Mesem masih rutin digelar. Dalam konteks sejarah politik, Mangkunegaran berperan sebagai penyeimbang antara Surakarta dan Yogyakarta, serta memiliki peran diplomatis penting dalam hubungan dengan pemerintah kolonial dan Republik Indonesia. Warisan Sastra dan Spiritual Mangkunegara IV dikenal luas sebagai pujangga besar yang menulis Serat Wedhatama dan Serat Tripama, dua karya monumental yang menjadi pedoman moral bagi bangsawan dan rakyat Jawa. Serat Wedhatama menekankan pentingnya ilmu, kebijaksanaan, dan kesederhanaan. Serat Tripama berisi teladan kepemimpinan dan keberanian. Ajaran-ajaran ini masih diajarkan di berbagai institusi pendidikan budaya di Jawa Tengah dan Yogyakarta karena mengandung nilai universal tentang kepemimpinan etis dan keadilan sosial. Baca juga : Paku Buwono: Simbol Kebijaksanaan dan Kejayaan Kasunanan Surakarta Mangkunegaran dalam Era Kemerdekaan Setelah Indonesia merdeka, Kadipaten Mangkunegaran menunjukkan loyalitas penuh terhadap Republik Indonesia. Mangkunegara VIII (1944–1987) secara terbuka menyatakan dukungannya kepada Presiden Soekarno dan terlibat dalam pembentukan struktur pemerintahan di Jawa Tengah. Meskipun sistem kerajaan sudah tidak lagi memiliki kekuasaan politik formal, Mangkunegaran tetap memainkan fungsi kultural dan sosial dalam masyarakat Jawa, serta menjadi mitra penting pemerintah dalam pelestarian budaya. (Gholib) Referensi: Soekmono, R. (1996). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Haryono, S. (2018). Sejarah Mangkunegaran dan Pengaruhnya di Jawa Tengah. Yogyakarta: Ombak. Sudardi, B. (2010). Serat Wedhatama dan Nilai Pendidikan Moral Jawa. Surakarta: UNS Press.

Paku Alam: Dinasti Keturunan Mataram yang Menjaga Tradisi dan Modernitas Yogyakarta

Wamena, Nama Paku Alam memiliki tempat tersendiri dalam sejarah panjang Mataram Islam. Dinasti ini lahir dari Perjanjian Giyanti (1755) yang memecah Mataram menjadi dua kekuasaan besar, yakni Kasultanan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengkubuwono I dan Kasunanan Surakarta di bawah Paku Buwono III. Namun, di tengah perjalanan sejarah, muncul satu kekuatan baru yang lahir dari dinamika politik internal Yogyakarta, yaitu Kadipaten Paku Alaman. Kadipaten ini didirikan pada tahun 1813 oleh Paku Alam I (Natadiningrat) dengan persetujuan Pemerintah Kolonial Inggris di bawah Thomas Stamford Raffles. Kehadiran Paku Alam menjadi simbol keseimbangan politik dan budaya di Tanah Jawa, sekaligus memperkuat eksistensi nilai-nilai kejawen, Islam, dan modernitas kolonial. Baca juga : Hamengku Buwono: Raja Bijaksana Penegak Budaya dan Penjaga Martabat Mataram Islam Makna Filosofis Gelar “Paku Alam” Secara etimologis, istilah Paku Alam terdiri dari dua kata: paku berarti “penegak” atau “pengokoh”, dan alam berarti “dunia” atau “semesta”. Dengan demikian, gelar ini berarti “penegak keseimbangan dunia”. Dalam filosofi Jawa, seorang Paku Alam diharapkan menjadi pengayom rakyat, penjaga moralitas, dan pelestari budaya selaras dengan harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Paku Alam dikenal sebagai pemimpin yang berakar pada spiritualitas Jawa dan nilai Islam, namun tetap terbuka terhadap pembaruan zaman. Hal ini tampak jelas sejak masa pemerintahan Paku Alam I yang bersahabat dengan Inggris dan menerapkan sistem administrasi modern. Peran Paku Alam dari Masa ke Masa Sejak berdirinya Kadipaten Paku Alaman, telah ada delapan generasi penguasa yang memimpin hingga saat ini. Berikut beberapa figur penting dalam sejarahnya: Paku Alam I (1813–1829): Pendiri Kadipaten, tokoh cerdas dan diplomatis yang menjalin hubungan baik dengan Inggris dan Kesultanan Yogyakarta. Paku Alam II–V: Meneruskan tradisi literasi dan kebudayaan. Di masa ini, muncul banyak karya sastra dan naskah klasik Jawa. Paku Alam VII (1906–1937): Terkenal sebagai raja berwawasan luas yang mengembangkan pendidikan dan membuka diri terhadap pengaruh Barat. Paku Alam VIII (1937–1998): Tokoh penting dalam sejarah Indonesia modern. Ia menjabat sebagai Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pertama bersama Sultan Hamengkubuwono IX setelah kemerdekaan RI. Paku Alam IX (1998–2015): Melanjutkan sinergi dengan pemerintah daerah, memperkuat Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa berdasarkan UUD 1945 Pasal 18B ayat (1). Paku Alam X (2016–sekarang): Menjabat sebagai Wakil Gubernur DIY, sekaligus menjaga keberlanjutan nilai budaya dan fungsi simbolis keraton. Paku Alaman sebagai Simbol Keseimbangan Politik dan Budaya Dalam sejarah politik Jawa, keberadaan Kadipaten Paku Alaman menjadi penyeimbang kekuasaan antara Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah kolonial. Meskipun secara administratif lebih kecil dibanding kesultanan, Paku Alaman memiliki peran penting dalam diplomasi dan kebudayaan. Keraton Paku Alaman menjadi pusat pengembangan sastra, seni tari, dan gamelan Jawa, serta lembaga pendidikan tradisional yang menanamkan nilai-nilai luhur budi pekerti. Kontribusi Paku Alam dalam Sejarah Nasional Salah satu peristiwa monumental adalah dukungan Paku Alam VIII terhadap berdirinya Republik Indonesia. Bersama Sultan Hamengkubuwono IX, beliau mengeluarkan Amanat 5 September 1945, yang menyatakan bahwa Yogyakarta bergabung ke dalam NKRI. Sejak itu, Paku Alam menjadi simbol kesetiaan terhadap negara dan rakyat, serta mengokohkan status Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa berdasarkan kesatuan budaya dan pemerintahan tradisional. Baca juga : Mataram Islam dan Dinasti Pewarisnya: Jejak Hamengku Buwono, Paku Buwono, Paku Alam, dan Mangkunegara dalam Sejarah Nusantara Warisan Budaya dan Spiritualitas Keraton Paku Alaman tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga sumber nilai-nilai spiritual dan etika Jawa. Beberapa warisan budaya yang lestari antara lain: Gending Paku Alaman, musik gamelan khas kadipaten; Upacara Garebeg Paku Alaman, sebagai simbol syukur dan harmoni sosial; Sastra dan manuskrip klasik, yang menjadi bagian dari khazanah literasi Jawa. Paku Alaman tetap menegaskan jati dirinya sebagai pelestari budaya luhur, di tengah arus modernitas dan globalisasi yang terus berkembang. (Gholib) Referensi: Ricklefs, M.C. (2001). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford University Press. Haryono, S. (2018). Sejarah Kadipaten Paku Alaman. Yogyakarta: Ombak. Poesponegoro, M.D. & Notosusanto, N. (1990). Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Baru. Jakarta: Balai Pustaka. Carey, P. (2017). Destiny: The Life of Prince Diponegoro of Yogyakarta. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Paku Buwono: Simbol Kebijaksanaan dan Kejayaan Kasunanan Surakarta

Wamena, Nama Paku Buwono tidak hanya melekat pada sosok raja, tetapi juga menjadi simbol keberlanjutan budaya dan sejarah Jawa yang berakar dari Kerajaan Mataram Islam. Gelar “Paku Buwono” digunakan oleh para penguasa Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang berdiri setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, yang memisahkan Mataram menjadi dua kekuasaan besar: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Kerajaan Surakarta kemudian dipimpin oleh Paku Buwono III sebagai raja pertamanya, yang dianggap sebagai penerus sah dari garis Mataram. Dalam perkembangannya, nama “Paku Buwono” menjadi lambang kebijaksanaan, kehalusan budaya, dan pelindung tradisi Jawa klasik yang berpadu dengan nilai-nilai Islam. Baca juga : Hamengku Buwono: Raja Bijaksana Penegak Budaya dan Penjaga Martabat Mataram Islam Asal-Usul dan Makna Gelar “Paku Buwono” Istilah Paku Buwono berasal dari kata paku (penegak, penetap) dan buwono (dunia atau alam semesta). Secara filosofis, gelar ini bermakna “penegak tatanan dunia”, menggambarkan peran raja sebagai penjaga harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Setiap raja yang menyandang gelar ini diharapkan menjadi teladan moral, politik, dan spiritual, serta menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan keadilan. Konsep ini berakar dari ajaran kejawen dan nilai Islam, yang menjadi dasar pemerintahan di Surakarta. Paku Buwono III–XIII: Dinasti yang Bertahan dalam Zaman Sejak berdirinya Kasunanan Surakarta, telah ada tiga belas penguasa yang menyandang gelar Paku Buwono. Masing-masing memiliki peran dalam membentuk wajah kebudayaan Jawa modern: Paku Buwono III (1749–1788): Tokoh pertama yang memimpin setelah Perjanjian Giyanti, berperan dalam konsolidasi kekuasaan dan pelestarian budaya. Paku Buwono IV (1788–1820): Dikenal sebagai raja yang saleh dan mendorong pendidikan Islam di kalangan bangsawan. Paku Buwono X (1893–1939): Salah satu tokoh paling berpengaruh, yang memodernisasi tata pemerintahan dan hubungan diplomatik dengan Belanda. Paku Buwono XIII (1998–sekarang): Meneruskan peran budaya di era modern, berfokus pada pelestarian keraton sebagai pusat spiritual dan seni Jawa. Kebudayaan, Seni, dan Spiritualitas di Bawah Paku Buwono Kasunanan Surakarta di bawah para Paku Buwono menjadi pusat perkembangan seni dan budaya Jawa klasik, seperti: Gamelan dan tari bedhaya, yang memiliki makna filosofis tentang keselarasan hidup; Upacara adat seperti Grebeg dan Sekaten, yang merupakan bentuk akulturasi Islam dan budaya Jawa; Ajaran kawruh kejawen, yang menekankan kesempurnaan budi dan harmoni spiritual. Selain itu, keraton menjadi pusat pembelajaran sastra Jawa klasik, dengan karya-karya besar seperti Serat Centhini dan Serat Wulangreh yang disusun di bawah patronase Paku Buwono. Baca Juga : Mataram Islam dan Dinasti Pewarisnya: Jejak Hamengku Buwono, Paku Buwono, Paku Alam, dan Mangkunegara dalam Sejarah Nusantara Paku Buwono dalam Konteks Modern Meski kini Kasunanan Surakarta tidak lagi memiliki kekuasaan politik, peran Paku Buwono tetap signifikan sebagai penjaga warisan budaya dan spiritual. Dalam konteks Indonesia modern, keberadaan keraton menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, memperkuat identitas nasional melalui kebudayaan lokal. (Gholib) Referensi: Haryono, S. (2018). Sejarah Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Yogyakarta: Ombak. Ricklefs, M.C. (2001). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford University Press. Soekmono, R. (1996). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Poesponegoro, M.D. & Notosusanto, N. (1990). Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Baru. Jakarta: Balai Pustaka.

Hamengku Buwono: Raja Bijaksana Penegak Budaya dan Penjaga Martabat Mataram Islam

Wamena, Nama Hamengku Buwono melekat kuat dalam sejarah dan budaya Nusantara. Ia bukan sekadar gelar raja, tetapi simbol kepemimpinan, kebijaksanaan, dan pelestarian budaya Jawa-Islam. Sejak berdirinya Kasultanan Yogyakarta pada tahun 1755, para sultan bergelar Hamengku Buwono (HB) telah memegang peranan penting, tidak hanya dalam sejarah kerajaan, tetapi juga dalam perjalanan bangsa Indonesia. Baca juga : Mataram Islam dan Dinasti Pewarisnya: Jejak Hamengku Buwono, Paku Buwono, Paku Alam, dan Mangkunegara dalam Sejarah Nusantara Latar Belakang: Dari Mataram Islam ke Kasultanan Yogyakarta Kerajaan Mataram Islam, yang semula berpusat di Kotagede dan kemudian Plered, mengalami konflik perebutan kekuasaan pada abad ke-18. Perpecahan internal antara pewaris tahta menyebabkan campur tangan VOC (Belanda) yang kemudian melahirkan Perjanjian Giyanti (1755). Melalui perjanjian ini, kerajaan Mataram dibagi dua: Kasunanan Surakarta, diperintah oleh Paku Buwono III, dan Kasultanan Yogyakarta, dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Dengan berdirinya Yogyakarta, lahirlah garis keturunan raja-raja Hamengku Buwono, yang hingga kini tetap memainkan peran penting dalam sejarah budaya dan politik Indonesia. Hamengku Buwono I: Pendiri dan Arsitek Budaya Kasultanan Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755–1792) adalah sosok pendiri dan arsitek pertama Kasultanan Yogyakarta. Nama lengkapnya Raden Mas Sujana, adik dari Paku Buwono II, yang dikenal sebagai tokoh pejuang kemerdekaan politik dan budaya Jawa dari dominasi Belanda. Setelah mendirikan kerajaan baru di Yogyakarta, Hamengku Buwono I membangun Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1756. Keraton ini bukan sekadar istana, melainkan pusat spiritual, budaya, dan pemerintahan. Arsitekturnya menggambarkan falsafah Jawa-Islam: keseimbangan antara dunia lahir dan batin. Sultan Hamengku Buwono I juga merancang tata kota Yogyakarta yang berpola kosmologis menghubungkan Gunung Merapi, Keraton, dan Laut Selatan sebagai simbol harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Filosofi Kepemimpinan: Manunggaling Kawula Gusti Salah satu prinsip kepemimpinan Hamengku Buwono adalah “Manunggaling Kawula Gusti” kesatuan antara rakyat dan pemimpin. Falsafah ini mengandung makna bahwa seorang raja tidak hanya penguasa, tetapi juga pelindung dan pelayan rakyatnya. Dalam naskah-naskah keraton, Sultan Hamengku Buwono I disebut sebagai “Khalifatullah ing Ngayogyakarta Hadiningrat”, yang berarti wakil Tuhan di bumi. Namun kekuasaannya bukan bersifat absolut, melainkan didasarkan pada tanggung jawab moral, spiritual, dan sosial. Prinsip inilah yang menjadikan para penerus Hamengku Buwono dihormati bukan hanya sebagai raja, tetapi juga sebagai tokoh panutan moral dan budaya. (Gholib) Referensi: Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi, 2008. Carey, Peter. The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855. Leiden: KITLV Press, 2007. Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid II. Jakarta: Gramedia, 1996.