Artikel KPU Kab. Jayawijaya

Teori Kedaulatan Rakyat yang Melahirkan Demokrasi Modern

Wamena, Dalam sejarah perkembangan politik dan hukum, Teori Kedaulatan Rakyat (Popular Sovereignty Theory) menandai perubahan besar dalam cara manusia memandang kekuasaan. Teori ini menegaskan bahwa sumber kekuasaan tertinggi bukan lagi raja atau Tuhan melainkan rakyat itu sendiri. Gagasan revolusioner ini menjadi dasar bagi demokrasi modern, sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kendali utama negara. Asal-usul Teori Kedaulatan Rakyat Teori Kedaulatan Rakyat berakar dari pemikiran abad ke-17 hingga ke-18, masa ketika Eropa mengalami pergolakan intelektual dan politik besar yang dikenal sebagai Zaman Pencerahan (Enlightenment). Pada masa ini, para pemikir mulai menolak kekuasaan absolut raja dan menegaskan pentingnya kebebasan individu serta partisipasi rakyat dalam pemerintahan. Tokoh paling berpengaruh dalam teori ini adalah Jean-Jacques Rousseau (1712–1778), filsuf asal Prancis, melalui karya monumental berjudul Du Contrat Social (The Social Contract) tahun 1762. Rousseau menulis: “Kedaulatan sejati tidak dapat diwakilkan, karena kehendak umum (volonté générale) tidak dapat dipecah”. Artinya, rakyatlah yang menjadi pemegang kedaulatan mutlak atas negara, dan pemerintah hanya berfungsi sebagai pelaksana kehendak rakyat. Baca Juga : Teori Kedaulatan Tuhan dalam Sejarah Politik dan Hukum Prinsip-prinsip Utama Teori Kedaulatan Rakyat Kedaulatan berada di tangan rakyat. Seluruh kekuasaan negara berasal dari rakyat dan dijalankan untuk kepentingan rakyat. Pemerintah adalah wakil rakyat. Penguasa dipilih dan diberi mandat oleh rakyat, bukan sebaliknya. Kedaulatan bersifat tidak dapat dialihkan. Kekuasaan rakyat tidak bisa diberikan sepenuhnya kepada pihak lain. Partisipasi rakyat menjadi syarat legitimasi. Pemerintahan yang sah adalah pemerintahan yang memperoleh persetujuan rakyat. Prinsip-prinsip ini menjadi fondasi bagi sistem demokrasi konstitusional yang berkembang di berbagai negara termasuk Indonesia. Teori Kedaulatan Rakyat dalam Konteks Indonesia Dalam konteks Indonesia, teori ini terwujud secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Hal ini menunjukkan bahwa rakyat memiliki posisi tertinggi dalam sistem kenegaraan Indonesia. Segala bentuk kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif bersumber dari mandat rakyat dan harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat pula. Dampak Teori Kedaulatan Rakyat terhadap Perubahan Politik Dunia Teori ini menjadi pemicu lahirnya berbagai revolusi besar di dunia, seperti: Revolusi Amerika (1776), yang menegaskan hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri. Revolusi Prancis (1789), dengan semboyan “Liberté, Égalité, Fraternité” (Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan). Dari sinilah konsep demokrasi modern tumbuh dan berkembang, menggantikan sistem monarki absolut. Teori ini juga melahirkan sistem politik yang menekankan: Pemilu langsung dan bebas, Kebebasan berpendapat dan berserikat, Pemisahan kekuasaan untuk mencegah tirani. Implementasi dalam Sistem Pemerintahan Modern Bentuk konkret penerapan teori ini dapat ditemukan dalam: Pemilihan umum sebagai sarana rakyat menentukan pemimpinnya. Keterlibatan publik dalam kebijakan melalui partisipasi masyarakat, media, dan lembaga swadaya. Akuntabilitas pemerintahan setiap tindakan pemerintah harus dapat diawasi oleh rakyat. Dengan demikian, teori ini bukan hanya konsep filosofis, tetapi pilar utama sistem demokrasi konstitusional. Kritik terhadap Teori Kedaulatan Rakyat Meskipun ideal, teori ini tidak lepas dari kritik. Beberapa ahli politik menilai bahwa rakyat tidak selalu memiliki pengetahuan dan rasionalitas yang cukup untuk menentukan kebijakan terbaik. Selain itu, dalam praktiknya, kedaulatan rakyat sering “diselewengkan” oleh elite politik yang mengatasnamakan rakyat. Tokoh seperti Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America (1835) memperingatkan bahaya “tirani mayoritas”, yaitu kondisi ketika suara mayoritas mengabaikan hak minoritas. Oleh karena itu, teori ini perlu dilengkapi dengan prinsip negara hukum (rule of law) dan hak asasi manusia untuk menyeimbangkan kekuasaan rakyat dan perlindungan individu. Baca Juga : Bentuk Pemerintahan Demokrasi: Kedaulatan Rakyat dalam Tindakan Relevansi di Era Modern Di era globalisasi dan digitalisasi saat ini, teori kedaulatan rakyat semakin menemukan bentuk baru. Partisipasi publik tidak lagi terbatas pada pemilu, tetapi juga melalui ruang digital, petisi daring, dan gerakan sosial online. Fenomena ini menandakan bahwa kedaulatan rakyat kini meluas ke ruang virtual, di mana opini publik bisa langsung memengaruhi kebijakan negara. (Gholib) Referensi: Rousseau, Jean-Jacques. Du Contrat Social (The Social Contract). Paris: Marc-Michel Rey, 1762. Locke, John. Two Treatises of Government. London: Awnsham Churchill, 1690. Sabine, George H. A History of Political Theory. New York: Holt, Rinehart and Winston, 1973. Barker, Ernest. Principles of Social and Political Theory. Oxford University Press, 1951. Ebenstein, William. Great Political Thinkers: Plato to the Present. New York: Holt, Rinehart & Winston, 1970.

Teori Kedaulatan Raja dalam Pemikiran Politik Klasik

Wamena, Dalam sejarah politik dunia, Teori Kedaulatan Raja (The Theory of Royal Sovereignty) menjadi salah satu pilar utama legitimasi kekuasaan monarki. Teori ini menyatakan bahwa seluruh kedaulatan negara berada di tangan raja, dan kekuasaannya tidak terbatas oleh hukum atau kehendak rakyat. Pandangan ini pernah menjadi fondasi sistem pemerintahan monarki absolut, terutama di Eropa pada abad ke-16 hingga ke-18. Asal-usul Teori Kedaulatan Raja Teori Kedaulatan Raja lahir dari perpaduan antara teologi politik dan tradisi feodal. Pada masa itu, kekuasaan dianggap sebagai anugerah langsung dari Tuhan kepada raja. Dengan demikian, raja bukan hanya pemimpin politik tetapi juga wakil Tuhan di bumi. Tokoh-tokoh seperti Jean Bodin (1530–1596) dalam bukunya Six Livres de la République (1576) menegaskan bahwa: “Souveraineté est la puissance absolue et perpétuelle d’une République”. (Kedaulatan adalah kekuasaan absolut dan abadi dari suatu negara). Menurut Bodin, kedaulatan tidak dapat dibagi dan tidak terbatas oleh hukum manusia. Raja memiliki kekuasaan mutlak untuk membuat, menegakkan, dan menafsirkan hukum. Baca Juga : Teori Kedaulatan Tuhan dalam Sejarah Politik dan Hukum Prinsip Utama Teori Kedaulatan Raja Kedaulatan bersumber dari raja bukan rakyat. Raja menjadi pusat dari semua kekuasaan negara - legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Raja tidak dapat diganggu gugat. Segala tindakan raja dianggap sah dan tidak dapat ditentang. Hukum berasal dari kehendak raja. Raja sebagai sumber hukum tertinggi (lex animata - hukum yang hidup). Ketaatan rakyat adalah kewajiban moral dan politik. Menentang raja berarti menentang tatanan negara. Pemikiran ini menjadi landasan bagi sistem monarki absolut yang banyak diterapkan di Prancis, Inggris, dan Spanyol pada masa modern awal. Kedaulatan Raja dalam Praktik Politik Contoh paling terkenal dari penerapan teori ini adalah pada masa pemerintahan Raja Louis XIV dari Prancis (1643–1715) yang dikenal dengan julukan “The Sun King.” Ia menyatakan dengan lantang: “L’État, c’est moi.” (Negara adalah aku). Ungkapan ini menggambarkan bahwa identitas negara melekat pada diri raja. Semua keputusan politik, ekonomi, dan hukum bergantung pada kehendaknya semata. Kritik terhadap Teori Kedaulatan Raja Meskipun teori ini memberikan stabilitas pada masa-masa awal pembentukan negara modern, ia juga menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Rakyat tidak memiliki ruang untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, dan hukum sering kali digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dinasti. Kritik mulai muncul pada abad ke-17 dan ke-18 melalui pemikiran filsuf politik modern seperti: John Locke, yang menolak kekuasaan absolut dan memperkenalkan gagasan pemisahan kekuasaan berdasarkan kontrak sosial. Jean-Jacques Rousseau, yang memperjuangkan kedaulatan rakyat sebagai sumber legitimasi negara. Montesquieu, yang menekankan pemisahan kekuasaan agar tidak terjadi tirani. Teori-teori ini akhirnya menjadi dasar bagi lahirnya demokrasi modern dan konstitusionalisme, yang membatasi kekuasaan penguasa melalui hukum. Baca Juga : Hak dan Kewajiban Warga Negara: Pengertian, Contoh, dan Landasan Hukumnya Pengaruh Teori Kedaulatan Raja dalam Pembentukan Negara Modern Meskipun telah banyak ditinggalkan, Teori Kedaulatan Raja tetap memiliki pengaruh besar dalam perkembangan negara hukum (rechtsstaat) dan sistem monarki konstitusional. Beberapa negara seperti Inggris, Jepang, dan Thailand, masih mempertahankan raja sebagai simbol kedaulatan dan kesatuan negara, meskipun kekuasaannya kini bersifat simbolik. Refleksi Modern atas Teori Kedaulatan Raja Dalam konteks kontemporer, teori ini dapat dimaknai sebagai bagian dari evolusi konsep kedaulatan negara. Dari kekuasaan yang berpusat pada satu orang (raja), kini kedaulatan bergeser ke tangan rakyat dan hukum. Namun demikian, etos kepemimpinan yang bertanggung jawab, bermoral, dan berwibawa yang melekat pada figur raja tetap relevan bagi kepemimpinan modern. (Gholib) Referensi: Bodin, Jean. Six Livres de la République. Paris: Jacques du Puys, 1576. Filmer, Robert. Patriarcha: The Natural Power of Kings. London: Oxford University Press, 1680. Sabine, George H. A History of Political Theory. New York: Holt, Rinehart and Winston, 1973. Barker, Ernest. Principles of Social and Political Theory. Oxford University Press, 1951. Ebenstein, William. Great Political Thinkers: Plato to the Present. New York: Holt, Rinehart & Winston, 1970.

Teori Kedaulatan Tuhan dalam Sejarah Politik dan Hukum

Wamena, Dalam sejarah pemikiran politik dan hukum, salah satu teori tertua dan paling berpengaruh adalah Teori Kedaulatan Tuhan (Divine Right Theory of Kingship). Teori ini meyakini bahwa kekuasaan negara berasal langsung dari Tuhan, dan penguasa hanyalah wakil-Nya di bumi. Gagasan ini menjadi dasar legitimasi bagi raja-raja Eropa abad pertengahan terutama di Inggris dan Prancis, dalam membangun sistem monarki absolut. Baca Juga : Bentuk Pemerintahan Teokrasi: Kekuasaan Berdasarkan Kehendak Tuhan Asal-usul Teori Kedaulatan Tuhan Teori ini berakar dari tradisi teologi politik Kristen, khususnya dari pemikiran Santo Agustinus (354-430 M) dan kemudian diperkuat oleh Thomas Aquinas (1225-1274). Agustinus dalam karyanya De Civitate Dei (Kota Allah) menjelaskan bahwa semua kekuasaan berasal dari Tuhan dan manusia hanya menjadi perantara untuk melaksanakan kehendak ilahi. Thomas Aquinas melanjutkan gagasan tersebut dengan menegaskan bahwa Tuhan adalah sumber hukum tertinggi (lex aeterna). Dengan demikian, kedaulatan manusia hanyalah turunan dari kedaulatan Tuhan. Pemikiran ini menjadi dasar bagi pandangan bahwa raja atau penguasa memiliki hak ilahi untuk memerintah (divine right of kings). Raja Sebagai Wakil Tuhan di Bumi Dalam praktik politik Eropa abad ke-15 hingga ke-17, teori ini digunakan untuk memperkuat legitimasi kekuasaan monarki absolut. Raja dianggap tidak bertanggung jawab kepada rakyat tetapi hanya kepada Tuhan. Oleh karena itu, menentang raja berarti menentang Tuhan. Salah satu tokoh penting yang membela teori ini adalah Sir Robert Filmer (1588–1653) dalam bukunya Patriarcha: The Natural Power of Kings (1680). Filmer berpendapat bahwa kekuasaan raja bersumber dari otoritas ilahi, seperti halnya kekuasaan Adam atas anak cucunya dalam Kitab Kejadian. “The King’s power is not derived from the people, but from God; the King is God’s lieutenant upon earth”. Ucap Robert Filmer, Patriarcha Implikasi terhadap Sistem Hukum dan Politik Teori Kedaulatan Tuhan memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan sistem hukum dan politik Eropa. Dalam pandangan ini, hukum negara harus selaras dengan hukum Tuhan, dan penguasa berkewajiban menegakkan moralitas ilahi. Fungsi negara berdasarkan teori ini adalah: Menegakkan hukum yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Melindungi dan memelihara moralitas masyarakat. Menjamin kesejahteraan rakyat sebagai bagian dari amanah ilahi. Namun, teori ini juga menimbulkan konsekuensi negatif karena menutup ruang bagi partisipasi rakyat dan demokrasi. Segala bentuk kritik terhadap raja dapat dianggap sebagai pemberontakan terhadap Tuhan. Kritik terhadap Teori Kedaulatan Tuhan Pada abad ke-17 dan 18, teori ini mulai dikritik keras oleh para filsuf rasionalis dan liberal. Tokoh seperti John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Thomas Hobbes menentang gagasan bahwa kekuasaan bersumber dari Tuhan. John Locke dalam Two Treatises of Government (1690) menegaskan bahwa kekuasaan berasal dari rakyat bukan dari Tuhan. Rousseau memperkenalkan teori kontrak sosial, yang menyatakan bahwa legitimasi pemerintahan lahir dari kesepakatan masyarakat. Hobbes, meskipun mendukung kekuasaan yang kuat, menolak konsep bahwa raja dipilih oleh Tuhan, melainkan oleh kontrak sosial demi keamanan. Perdebatan ini menandai pergeseran dari teokrasi menuju demokrasi modern, di mana kedaulatan rakyat menggantikan kedaulatan Tuhan sebagai dasar legitimasi negara. Jejak Teori Kedaulatan Tuhan dalam Dunia Modern Meskipun kini teori ini jarang digunakan dalam konteks politik modern, nilai-nilai teologisnya masih hidup dalam berbagai bentuk. Banyak konstitusi negara, termasuk Indonesia, tetap menyebutkan bahwa Tuhan merupakan sumber moralitas dan hukum tertinggi. Misalnya, dalam Pembukaan UUD 1945, disebutkan: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa...”. Kalimat ini menunjukkan bahwa meskipun negara Indonesia menganut prinsip kedaulatan rakyat, namun dasar moral dan spiritual tetap bersumber dari Tuhan. Baca Juga : Roscoe Pound Pencetus Aliran Hukum Sosialis Diantara Keadilan dan Kebutuhan Masyarakat Relevansi Teori Kedaulatan Tuhan Saat Ini Dalam konteks modern, teori ini dapat dilihat sebagai pengingat bahwa kekuasaan negara tidak boleh absolut dan harus memiliki dasar moral. Walaupun kekuasaan berasal dari rakyat, pelaksanaannya tetap harus mencerminkan keadilan, etika, dan nilai ketuhanan. Dengan demikian, kedaulatan Tuhan bukan sekadar legitimasi kekuasaan, melainkan sumber etika politik dan hukum agar negara tidak kehilangan arah dalam menjalankan fungsinya. (Gholib) Referensi: Filmer, Robert. Patriarcha: The Natural Power of Kings. London: Oxford University Press, 1680. Aquinas, Thomas. Summa Theologica. Translated by Fathers of the English Dominican Province. New York: Benziger Bros., 1947. Sabine, George H. A History of Political Theory. New York: Holt, Rinehart and Winston, 1973. Vaughan, Michael. The History of Political Thought: From Antiquity to the Renaissance. Cambridge University Press, 2012.

Presidential Threshold : Pengertian dan Dasar Hukumnya Sebelum di Hapus

Wamena- Hallo sobat demokrasi, pasti sobat demokrasi sudah mengetahui bahwa pada Januari tahun 2025 kemarin Mahkamah Konstitusi telah menghapus ketentuan Presidential Threshold atau ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang sebelumnya diberlakukan. Sebelum itu apakah sobat demokrasi sudah mengetahui apa itu Presidential Threshold? Yuk sama-sama kita belajar bersama apa sih Presidential Threshold itu? Baca Juga : Sistem Informasi Partai Politik SIPOL dan SIPOL Online Penjelasan Resmi Pengertian Presidential Threshold Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden merupakan syarat minimal persentase kepemilikan kursi di DPR atau persentase raihan suara sah secara nasional yang harus dipenuhi oleh suatu parti politik atau gabungan partai politik agar dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sebelum dihapus oleh MK, Presidensial Threshold merujuk pada suatu ketentuan yang mewajibkan partai politik atau gabungan parpol untuk memenuhi ambang batas tertentu sebelum mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Misalnya, sebuah parpol atau gabungan parpol yang ingin mengusulkan pasangan calon presiden dan wapresnya harus memiliki kursi minimal sebesar 20% di DPR atau 25% suara sah nasional dari pemilu sebelumnya. Nah sobat demokrasi negara kita, menganut sistem presidensial. Sebelum dihapus oleh MK, Presidential Threshold ini diterapkan karena dipandang memiliki sejumlah tujuan, diantaranya: Memperkuat Sistem Presidensial, hal ini memastikan presiden yang terpilih mempunyai dukungan politik yang signifikan di parlemen. Berdasarkan dukungan mayoritas atau minimal yang kuat dari DPR, diharapkan pemerintahan dari presiden dan wakil presiden yang terpilih ini dapat lebih stabil dan efektif salam menjalankan programnya, dan tidak mudah di berhentikan karena alasan politik. Mendorong Efektivitas Pemerintahan, Dukungan yang kuat dari parlemen dianggap penting untuk kelancaran penetapan kebijakan dan undang-undang. Mengurangi Jumlah Pasangan Calon, Ambang Batas ini atau Presidential Threshold secara efektif membatasi jumlah pasangan calon yang maju dalam pesta demokrasi Pemilihan Presiden, hal ini bertujuan untuk menyederhanakan pilihan dan menghindari terlalu banyak fragmentasi politik. Dasar Hukum Presidential Threshold Ketentuan mengenai Presidential Threshold diatur dalam: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 6A Ayat 2 yang menyatakan "Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum." Baca Juga : Bentuk Negara Indonesia : Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 222 Sebelum dihapus oleh MK menyatakan "Pasangan Calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilihan umum anggota DPR sebelumnya." Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62 /PUU-XXII/ 2024, menyatakan bahwa ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh sebab itu, sistem Presidential Threshold dengan ambang batas 20% atau 25% tersebut sudah tidak berlaku lagi dalam sistem pemilu di Indonesia. Sobat Demokrasi, bagaimana? sudah paham kan dengan apa itu sistem Presidential Threshold? Jangan lupa yah bahwa sistem ini sudah tidak berlaku lagi di Indonesia semenjak putusan MK Nomor 62 /PUU-XXII/ 2024 diberlakukan, sehingga untuk kedepannya tidak ada lagi ambang batas untuk pencalonan Presiden dan Wakil presiden. (CHCW) Referensi : Putusan MKRI PUTUSAN Nomor 62/PUU-XXII/2024  

Cara Mengurus KTP Hilang: Panduan Lengkap untuk Warga Negara

Kehilangan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bisa menjadi masalah serius karena dokumen ini menjadi identitas resmi setiap warga negara Indonesia dan syarat untuk berbagai administrasi, seperti daftar pemilih tetap (DPT), pengurusan perbankan, dan layanan publik. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui cara mengurus KTP hilang dengan cepat dan benar. Proses pengurusan KTP hilang diatur oleh pemerintah melalui Dukcapil (Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil), memastikan setiap warga tetap bisa mengakses hak pilih, termasuk saat Pilkada atau Pemilu. Dalam panduan ini, kami membahas secara lengkap syarat, alur, dan solusi KTP hilang, serta tips agar dokumen Anda aman. Artikel ini juga menyertakan referensi resmi dari Kemendagri, JDIH, dan KPU, sehingga warga dapat mengikuti prosedur resmi tanpa risiko kesalahan atau penipuan. Dengan memahami panduan ini, masyarakat dapat menjaga hak pilih dan kepentingan administrasi publik secara lancar. Baca Juga : Hak dan Kewajiban Warga Negara: Pengertian, Contoh, dan Landasan Hukumnya Apa Syarat untuk Mengurus KTP Hilang? Untuk mengurus KTP yang hilang, beberapa dokumen biasanya diperlukan: Surat keterangan kehilangan dari kepolisian. Fotokopi Kartu Keluarga (KK). Dokumen pendukung identitas lain (misal akta kelahiran atau paspor). Formulir pengajuan cetak KTP baru dari Dukcapil. Syarat ini memastikan proses pengurusan KTP hilang aman dan sesuai ketentuan hukum. Bagaimana Prosedur Mengurus KTP Hilang? Melapor ke Polisi. Buat surat keterangan kehilangan di kantor kepolisian setempat. Kunjungi Dukcapil. Serahkan surat polisi dan dokumen pendukung. Verifikasi Data. Petugas memeriksa data kependudukan di sistem Dukcapil. Cetak KTP Baru. Setelah diverifikasi, KTP akan dicetak ulang. Ambil KTP. Warga dapat mengambil KTP baru di Dukcapil atau meminta pengiriman ke alamat domisili. Cara Mengurus Penggantian KTP Hilang Secara Daring Seiring perkembangan teknologi, pengurusan KTP hilang kini bisa dilakukan secara daring melalui layanan resmi Dukcapil. Berikut langkah-langkah yang dapat diikuti: Akses Portal Resmi Dukcapil Kunjungi situs resmi Dukcapil atau aplikasi mobile Dukcapil yang disediakan pemerintah. Pastikan alamat portal sesuai dengan domisili kabupaten/kota. Daftar atau Login Akun Buat akun atau masuk dengan akun yang sudah terdaftar. Gunakan data pribadi sesuai Kartu Keluarga dan dokumen kependudukan lainnya. Isi Formulir Pengajuan KTP Hilang Lengkapi formulir daring dengan data diri, unggah dokumen pendukung seperti Surat Keterangan Kehilangan dari kepolisian dan fotokopi KK. Verifikasi Data oleh Dukcapil Petugas akan memeriksa kelengkapan dokumen dan memastikan data Anda valid. Jika ada kekurangan, biasanya akan diberi notifikasi untuk diperbaiki. Cetak atau Ambil KTP Baru Setelah diverifikasi, Anda akan mendapatkan jadwal pengambilan KTP baru di kantor Dukcapil atau opsi pengiriman sesuai layanan daring yang tersedia. Proses daring ini mempermudah warga yang tidak dapat datang langsung ke kantor Dukcapil, terutama bagi yang tinggal di daerah terpencil, dan tetap menjaga hak pilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pilkada dan Pemilu Baca Selengkapnya :Cek DPT Online Terbaru: Panduan Lengkap Pemilih Solusi Jika KTP Hilang Saat Pilkada atau Pemilu Jika KTP hilang menjelang pemilu atau Pilkada: Segera urus KTP baru agar dapat terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Gunakan surat keterangan kepolisian dan dokumen Dukcapil untuk memastikan hak pilih tetap terjaga. Pastikan data Anda tercatat di sistem Dukcapil agar terhindar dari kesalahan administrasi. Tips Agar KTP Tidak Hilang Lagi Simpan KTP di tempat aman, misal dompet khusus atau brankas rumah. Buat fotokopi dan simpan digital sebagai backup. Laporkan segera jika hilang untuk mengurangi risiko penyalahgunaan identitas. Referensi : Kemendagri – Direktorat Jenderal Dukcapil: dukcapil.kemendagri.go.id Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH): jdih.setneg.go.id KPU RI: kpu.go.id Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2019 tentang Pencatatan Penduduk

Perbedaan Pemerintah Pusat dan Daerah: Fungsi dan Kewenangannya

Dalam sistem pemerintahan Indonesia, perbedaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi dasar utama dalam pelaksanaan administrasi negara. Pemahaman yang baik mengenai dua struktur ini sangat penting, terutama bagi pelajar SMA dan mahasiswa pemerintahan yang ingin mengenal lebih dalam cara kerja negara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemerintah pusat memiliki posisi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, yang bertugas mengatur hal-hal bersifat nasional, seperti pertahanan, moneter, dan hubungan internasional. Sementara itu, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang lebih dekat dengan kehidupan masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur lokal. Sistem ini diatur berdasarkan asas desentralisasi, dengan tujuan mempercepat pembangunan dan memberikan pelayanan yang lebih efektif. Melalui artikel ini, kamu akan memahami perbedaan mendasar antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dari segi fungsi, wewenang, dan contohnya dalam kehidupan sehari-hari. Mari kita pelajari bersama bagaimana kedua level pemerintahan ini bekerja dalam satu kesatuan yang harmonis. Baca Juga : Mengenal Pemerintahan Daerah: Fungsi, Wewenang, dan Contohnya Apa Perbedaan Fungsi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah? Pemerintah pusat berperan sebagai pengambil kebijakan nasional yang mengikat seluruh wilayah Indonesia. Fungsi utamanya mencakup tanggung jawab menjaga kedaulatan negara, memastikan stabilitas ekonomi makro, serta membina hubungan dengan negara lain. Sementara itu, pemerintah daerah berfokus pada urusan lokal. Tugasnya meliputi penyediaan layanan publik, pelaksanaan pembangunan daerah, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat. Perbedaan ini mencerminkan prinsip pembagian kekuasaan dalam NKRI, yang bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang lebih dekat dengan rakyat. Contoh Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Kehidupan Nyata Contoh kewenangan pemerintah pusat antara lain penetapan kebijakan pertahanan nasional, pengelolaan anggaran negara (APBN), dan penyusunan undang-undang. Sebaliknya, pemerintah daerah mengatur pengelolaan sekolah negeri, pembangunan jalan kabupaten, perizinan usaha lokal, hingga pengelolaan rumah sakit daerah. Dengan kewenangan tersebut, pemerintah daerah dapat menjalankan fungsi otonominya secara optimal dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayahnya. Baca Juga : Bentuk Negara Indonesia : Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan Referensi ; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 Kemendagri – Dirjen Otonomi Daerah Portal Resmi Kemenkeu dan Bappenas