Artikel KPU Kab. Jayawijaya

Fungsi Negara Menurut Montesquieu untuk Membagi Kekuasaan dan Kebebasan Rakyat

Wamena, Dalam sejarah pemikiran politik, Charles-Louis de Secondat, Baron de Montesquieu (1689-1755) dikenal sebagai perintis teori pemisahan kekuasaan negara (separation of powers). Pemikirannya memberikan dasar bagi sistem pemerintahan modern yang menjunjung tinggi kebebasan warga negara dan supremasi hukum. Montesquieu meyakini bahwa kekuasaan cenderung korup jika tidak dibatasi sehingga fungsi negara harus dipisahkan menjadi beberapa bagian agar saling mengawasi dan menyeimbangkan. Gagasannya menjadi inspirasi utama bagi konstitusi Amerika Serikat (1787) dan banyak sistem demokrasi di dunia termasuk Indonesia.

Baca Juga : Karl Nickerson Llewellyn : Pelopor Realisme Hukum Amerika yang Menolak Hukum Sebagai Dogma

Latar Belakang Pemikiran Montesquieu

Montesquieu hidup di Prancis pada masa kekuasaan absolut raja ketika hukum sering digunakan untuk melayani kepentingan monarki. Montesquieu menyaksikan ketidakadilan, penindasan, dan kesewenang-wenangan yang timbul karena terpusatnya kekuasaan pada satu tangan. Melalui karya monumentalnya, De l’esprit des lois (The Spirit of Laws, 1748), Montesquieu mengkritik pemerintahan absolut dan menawarkan model negara yang adil dan rasional dengan prinsip pembagian kekuasaan.

Pemikiran Montesquieu kemudian memengaruhi banyak tokoh besar seperti John Locke, Thomas Jefferson, dan James Madison.

Konsep Utama Montesquieu: Pemisahan Kekuasaan Negara

Menurut Montesquieu, negara harus membagi kekuasaannya ke dalam tiga fungsi utama agar tidak terjadi penindasan dan penyalahgunaan wewenang. Ketiga fungsi itu adalah:

  1. Kekuasaan Legislatif (Pembuat Undang-Undang)

Fungsi ini bertugas membuat dan menetapkan hukum sebagai dasar kehidupan bernegara. Legislatif adalah representasi suara rakyat dan harus bekerja secara transparan. Jika kekuasaan membuat hukum disatukan dengan kekuasaan pelaksana hukum maka tidak ada kebebasan yang sesungguhnya.

  1. Kekuasaan Eksekutif (Pelaksana Undang-Undang)

Fungsi ini dijalankan oleh pemerintah atau raja untuk menjalankan hukum dan kebijakan publik. Namun, eksekutif tidak boleh membuat hukum karena akan menimbulkan tirani. Menurut Montesquieu, eksekutif yang kuat tapi terkendali diperlukan untuk menjaga ketertiban dan keamanan negara.

  1. Kekuasaan Yudikatif (Kehakiman)

Fungsi ini berperan mengadili pelanggaran terhadap hukum dan menegakkan keadilan. Montesquieu menegaskan bahwa yudikatif harus independen agar dapat menegakkan keadilan tanpa intervensi dari legislatif maupun eksekutif. Kemandirian lembaga peradilan menjadi pilar utama dalam mewujudkan negara hukum (rule of law).

Tujuan Pemisahan Kekuasaan

Montesquieu menekankan bahwa pemisahan kekuasaan bukan untuk melemahkan negara tetapi untuk melindungi kebebasan rakyat. Tujuannya adalah agar tidak ada lembaga yang memiliki kekuasaan absolut sehingga setiap cabang kekuasaan dapat:

  1. Mengawasi (check) cabang kekuasaan lainnya, dan
  2. Menyeimbangkan (balance) agar sistem pemerintahan berjalan adil dan efisien.

Gagasan ini dikenal dengan istilah “checks and balances”, yang hingga kini menjadi prinsip utama dalam demokrasi konstitusional.

Pengaruh Pemikiran Montesquieu di Dunia dan Indonesia

Pemikiran Montesquieu berpengaruh besar dalam pembentukan konstitusi Amerika Serikat (1787) dan Revolusi Prancis (1789). Di Indonesia, prinsip pemisahan kekuasaan juga tercermin dalam UUD 1945, yang memisahkan fungsi:

  1. Legislatif di tangan DPR dan DPD,
  2. Eksekutif di tangan Presiden dan Wakil Presiden,
  3. Yudikatif di tangan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Dengan struktur ini, Indonesia menjalankan sistem pemerintahan presidensial yang menekankan keseimbangan antar lembaga negara. Montesquieu menjadi inspirasi filosofis bagi penegakan demokrasi konstitusional di tanah air.

Baca Juga : Rudolf von Jhering Pionir Aliran Hukum Tujuan yang Menghidupkan Hukum untuk Masyarakat

Relevansi Pemikiran Montesquieu di Era Modern

Pemikiran Montesquieu tetap relevan di tengah tantangan demokrasi modern yang sering menghadapi penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan dominasi politik. Prinsip pembagian kekuasaan mengajarkan pentingnya lembaga yang independen, transparansi pemerintahan, dan pengawasan publik. Dalam konteks Indonesia, penguatan peran lembaga legislatif dan yudikatif yang bebas dari intervensi politik merupakan bentuk nyata penerapan semangat Montesquieu dalam menjaga keadilan dan kebebasan rakyat.

(Gholib)

Referensi:

  1. Montesquieu, Charles de Secondat. The Spirit of Laws. Translated by Thomas Nugent. London: G. Bell and Sons, 1914.
  2. Barker, Ernest. Principles of Social and Political Theory. Oxford University Press, 1951.
  3. Sabine, George H. A History of Political Theory. New York: Holt, Rinehart & Winston, 1961.

 

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 3,079 kali