Abdurrahman Wahid (Gus Dur): Presiden Keempat Republik Indonesia
Presiden Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur, adalah presiden keempat Indonesia yang dikenal dengan kepemimpinan yang santai, penuh humor, dan berpihak pada kemanusiaan. Ia menjabat sejak 1999 hingga 2001, pada masa awal transisi reformasi setelah lengsernya BJ Habibie. Sosok Gus Dur bukan hanya seorang politisi, tetapi juga tokoh ulama dan pemikir demokrasi yang sangat dihormati. Sebagai cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), ia membawa semangat toleransi, kebebasan beragama, dan penghargaan terhadap perbedaan ke dalam kebijakan pemerintahannya. Selama menjabat, Gus Dur berusaha memperkuat dasar-dasar demokrasi dan hak asasi manusia, meski masa pemerintahannya terbilang singkat. Artikel ini mengulas biografi, kepemimpinan, dan pemikiran Gus Dur sebagai salah satu figur paling berpengaruh dalam sejarah urutan presiden Indonesia.
Baca Juga : BJ Habibie: Presiden Ketiga Indonesia dan Bapak Teknologi Nasional
Biografi Singkat Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 7 September 1940. Ia berasal dari keluarga ulama besar; kakeknya, KH. Hasyim Asy’ari, adalah pendiri Nahdlatul Ulama. Pendidikan dasarnya ditempuh di pesantren, lalu melanjutkan studi ke Mesir (Al-Azhar University) dan Irak (Universitas Baghdad). Gus Dur dikenal cerdas, memiliki wawasan luas, dan gemar membaca buku dari berbagai bidang, mulai dari filsafat hingga politik.
Perjalanan Karier dan Kiprah di Dunia Politik
Sebelum menjadi Presiden, Gus Dur dikenal sebagai cendekiawan Muslim dan pemimpin Nahdlatul Ulama (NU). Ia menempuh pendidikan di berbagai negara seperti Mesir, Irak, dan Belanda. Menurut data Lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan NU Online, Gus Dur menjabat sebagai Ketua Umum PBNU selama tiga periode (1984–1999). Kepemimpinannya di NU menjadi cikal bakal pengaruhnya di panggung politik nasional.
Setelah reformasi 1998, Gus Dur ikut membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan menjadi salah satu tokoh penting dalam pemilihan presiden pertama pasca-Soeharto melalui Sidang MPR 1999. Ia kemudian terpilih sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia menggantikan B.J. Habibie.
Gaya Kepemimpinan dan Kebijakan Penting
Gaya kepemimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dikenal unik, terbuka, dan penuh nilai kemanusiaan. Sebagai Presiden ke-4 Indonesia, ia tampil tanpa jarak dengan rakyat, sering menyampaikan pandangan politiknya secara lugas dan diselingi humor yang mencairkan suasana. Gus Dur memimpin dengan hati dan mengedepankan nilai-nilai pluralisme, toleransi, serta kebebasan berpikir. Menurut analisis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam kajian kepemimpinan era reformasi tahun 2001, gaya kepemimpinan Gus Dur tergolong humanis dan berorientasi pada moral politik yang menolak otoritarianisme.

sumber poto : https://kompaspedia.kompas.id/wp-content/uploads/2023/02/gusdur6-744x540.jpg
Dalam kebijakan pemerintahannya, Gus Dur dikenal berani melakukan perubahan besar. Ia mencabut larangan penggunaan simbol dan bahasa Tionghoa melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2001, yang menandai lahirnya kembali kebebasan budaya di Indonesia. Selain itu, ia membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, dengan alasan efisiensi serta untuk menghapus warisan birokrasi Orde Baru. Kebijakan desentralisasi yang dijalankannya melalui UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 menjadi tonggak pelaksanaan otonomi daerah yang masih diterapkan hingga kini.
Di bidang hukum dan hak asasi manusia, Gus Dur memperkuat demokrasi melalui kebebasan pers dan pembebasan tahanan politik. Ia juga menempuh jalur dialog untuk menyelesaikan konflik di Aceh dan Papua, menunjukkan pendekatan damai dan kemanusiaan dalam kepemimpinan. Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan NU Online, Gus Dur meninggalkan warisan pemikiran bahwa politik seharusnya melayani rakyat, bukan sebaliknya. Walau masa jabatannya singkat, gaya kepemimpinan dan kebijakan Gus Dur tetap menjadi pijakan penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
Akhir Masa Jabatan dan Kontroversi Politik
Akhir masa jabatan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden ke-4 Indonesia diwarnai dengan ketegangan politik dan dinamika pemerintahan yang kompleks. Hubungan antara eksekutif dan legislatif memburuk akibat sejumlah kebijakan kontroversial seperti pembubaran departemen lama dan upaya reformasi birokrasi. Situasi memanas setelah muncul isu Bulog Gate dan Brunei Gate, yang meskipun tidak terbukti secara hukum, tetap dijadikan alasan politik untuk melemahkan posisinya. Puncaknya terjadi pada Sidang Istimewa MPR Juli 2001, yang memutuskan pemberhentiannya dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai pengganti. Meski masa pemerintahannya berakhir singkat, Gus Dur tetap dikenang sebagai tokoh demokrasi yang berani, pluralis, dan humanis.
Warisan Pemikiran dan Pengaruh Gus Dur
Setelah tidak lagi menjabat, Gus Dur terus aktif sebagai tokoh perdamaian dan penulis. Pemikirannya tentang demokrasi, kemanusiaan, dan toleransi lintas agama menjadi warisan berharga bagi bangsa. Ia wafat pada 30 Desember 2009 dan dimakamkan di kompleks pesantren Tebuireng, Jombang. Hingga kini, nama Gus Dur dikenal sebagai simbol toleransi dan pluralisme Indonesia.(Ar)
Baca Juga : Profil Lengkap Presiden Soekarno: Presiden Pertama Indonesia
Referensi :
- Buku Gus Dur: The Authorized Biography karya Greg Barton (Jakarta: Equinox, 2002).
- Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) – Koleksi Era Reformasi.
- Situs resmi Sekretariat Negara Republik Indonesia (www.setneg.go.id).
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Ensiklopedia Tokoh Nasional Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.