Paku Buwono: Simbol Kebijaksanaan dan Kejayaan Kasunanan Surakarta
Wamena, Nama Paku Buwono tidak hanya melekat pada sosok raja, tetapi juga menjadi simbol keberlanjutan budaya dan sejarah Jawa yang berakar dari Kerajaan Mataram Islam. Gelar “Paku Buwono” digunakan oleh para penguasa Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang berdiri setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, yang memisahkan Mataram menjadi dua kekuasaan besar: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Kerajaan Surakarta kemudian dipimpin oleh Paku Buwono III sebagai raja pertamanya, yang dianggap sebagai penerus sah dari garis Mataram. Dalam perkembangannya, nama “Paku Buwono” menjadi lambang kebijaksanaan, kehalusan budaya, dan pelindung tradisi Jawa klasik yang berpadu dengan nilai-nilai Islam.
Baca juga : Hamengku Buwono: Raja Bijaksana Penegak Budaya dan Penjaga Martabat Mataram Islam
Asal-Usul dan Makna Gelar “Paku Buwono”
Istilah Paku Buwono berasal dari kata paku (penegak, penetap) dan buwono (dunia atau alam semesta). Secara filosofis, gelar ini bermakna “penegak tatanan dunia”, menggambarkan peran raja sebagai penjaga harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Setiap raja yang menyandang gelar ini diharapkan menjadi teladan moral, politik, dan spiritual, serta menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan keadilan. Konsep ini berakar dari ajaran kejawen dan nilai Islam, yang menjadi dasar pemerintahan di Surakarta.
Paku Buwono III–XIII: Dinasti yang Bertahan dalam Zaman
Sejak berdirinya Kasunanan Surakarta, telah ada tiga belas penguasa yang menyandang gelar Paku Buwono. Masing-masing memiliki peran dalam membentuk wajah kebudayaan Jawa modern:
- Paku Buwono III (1749–1788): Tokoh pertama yang memimpin setelah Perjanjian Giyanti, berperan dalam konsolidasi kekuasaan dan pelestarian budaya.
- Paku Buwono IV (1788–1820): Dikenal sebagai raja yang saleh dan mendorong pendidikan Islam di kalangan bangsawan.
- Paku Buwono X (1893–1939): Salah satu tokoh paling berpengaruh, yang memodernisasi tata pemerintahan dan hubungan diplomatik dengan Belanda.
- Paku Buwono XIII (1998–sekarang): Meneruskan peran budaya di era modern, berfokus pada pelestarian keraton sebagai pusat spiritual dan seni Jawa.
Kebudayaan, Seni, dan Spiritualitas di Bawah Paku Buwono
Kasunanan Surakarta di bawah para Paku Buwono menjadi pusat perkembangan seni dan budaya Jawa klasik, seperti:
- Gamelan dan tari bedhaya, yang memiliki makna filosofis tentang keselarasan hidup;
- Upacara adat seperti Grebeg dan Sekaten, yang merupakan bentuk akulturasi Islam dan budaya Jawa;
- Ajaran kawruh kejawen, yang menekankan kesempurnaan budi dan harmoni spiritual.
Selain itu, keraton menjadi pusat pembelajaran sastra Jawa klasik, dengan karya-karya besar seperti Serat Centhini dan Serat Wulangreh yang disusun di bawah patronase Paku Buwono.
Paku Buwono dalam Konteks Modern
Meski kini Kasunanan Surakarta tidak lagi memiliki kekuasaan politik, peran Paku Buwono tetap signifikan sebagai penjaga warisan budaya dan spiritual. Dalam konteks Indonesia modern, keberadaan keraton menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, memperkuat identitas nasional melalui kebudayaan lokal.
(Gholib)
Referensi:
- Haryono, S. (2018). Sejarah Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Yogyakarta: Ombak.
- Ricklefs, M.C. (2001). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford University Press.
- Soekmono, R. (1996). Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
- Poesponegoro, M.D. & Notosusanto, N. (1990). Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Baru. Jakarta: Balai Pustaka.