Artikel KPU Kab. Jayawijaya

Teori Keadilan Menurut Jeremy Bentham: Ukuran Kebahagiaan untuk Semua

Wamena, Jeremy Bentham (1748–1832) dikenal sebagai pelopor aliran utilitarianisme dalam filsafat moral dan hukum. Ia menolak pandangan metafisik tentang keadilan dan menggantinya dengan pendekatan yang rasional, empiris, dan berbasis manfaat sosial. Bagi Bentham, keadilan tidak diukur dari moralitas abstrak, melainkan dari sejauh mana hukum dan kebijakan mampu menciptakan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak (the greatest happiness of the greatest number).

Baca Juga : Teori Keadilan Menurut Plato: Harmoni Jiwa dan Negara dalam Filsafat Klasik Yunani

Latar Belakang Pemikiran Jeremy Bentham

Bentham hidup di Inggris pada masa pencerahan (Enlightenment) era ketika rasionalitas dan ilmu pengetahuan mulai menggantikan dogma-dogma lama. Ia menentang sistem hukum Inggris yang kaku dan penuh keistimewaan kelas sosial, serta menilai bahwa hukum harus berpihak pada kesejahteraan manusia secara umum. Pemikirannya dituangkan dalam karya monumental seperti: An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789), dan The Theory of Legislation (1830). Kedua karya ini menjadi fondasi teori hukum modern yang menekankan bahwa tujuan utama hukum adalah kebahagiaan masyarakat.

Konsep Keadilan dalam Pandangan Bentham

Dalam pandangan Bentham, keadilan identik dengan kemanfaatan (utility). Ia menolak konsep keadilan yang bersifat absolut atau ilahi, seperti dalam pemikiran Thomas Aquinas atau filsuf skolastik lainnya. Menurut Bentham: “Nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters, pain and pleasure.” (Alam menempatkan manusia di bawah dua penguasa utama: kesenangan dan penderitaan.) Dengan demikian, hukum yang adil adalah hukum yang meminimalkan penderitaan dan memaksimalkan kebahagiaan manusia. Keadilan bagi Bentham bersifat pragmatis dan terukur: apa pun yang memberikan hasil positif bagi kesejahteraan masyarakat dianggap adil, sedangkan yang menimbulkan penderitaan dianggap tidak adil.

Prinsip Utilitas: Dasar Keadilan Bentham

Teori keadilan Bentham berakar pada Prinsip Utilitas (Utility Principle), yaitu pandangan bahwa nilai moral suatu tindakan diukur dari akibatnya terhadap kebahagiaan manusia. Ia mengembangkan kalkulus kebahagiaan (felicific calculus) cara mengukur tingkat manfaat suatu tindakan dengan mempertimbangkan tujuh unsur:

  1. Intensitas (intensity) – seberapa kuat kebahagiaan yang dihasilkan.
  2. Durasi (duration) – seberapa lama kebahagiaan itu berlangsung.
  3. Kepastian (certainty) – sejauh mana hasilnya dapat dipastikan.
  4. Kedekatan (propinquity) – seberapa cepat kebahagiaan itu dirasakan.
  5. Kesuburan (fecundity) – apakah kebahagiaan itu akan menimbulkan kebahagiaan lain.
  6. Kemurnian (purity) – sejauh mana kebahagiaan itu bebas dari penderitaan.
  7. Cakupan (extent) – berapa banyak orang yang terpengaruh oleh tindakan itu.

Dengan sistem ini, Bentham berusaha membuat moralitas dan hukum menjadi objektif, rasional, dan dapat dihitung.

Keadilan dan Hukum Positif

Bentham dikenal sebagai positivis hukum awal, meski berbeda dari John Austin yang kemudian menyempurnakan teori hukum positif. Ia percaya bahwa hukum harus dibuat oleh manusia untuk manusia, bukan berdasarkan tradisi, agama, atau metafisika. Menurutnya, tujuan hukum adalah kemanfaatan sosial, bukan kesetiaan terhadap prinsip moral tertentu. Hukum yang tidak bermanfaat bagi masyarakat tidak memiliki nilai keadilan. Bagi Bentham, reformasi hukum diperlukan agar hukum benar-benar melayani kepentingan umum, bukan kepentingan kelompok atau penguasa. Inilah sebabnya ia sering disebut “reformer of law” tokoh yang mengubah cara berpikir tentang hukum dari yang normatif menjadi empiris dan utilitarian.

Kritik terhadap Pandangan Bentham

Meskipun revolusioner, teori keadilan Bentham tidak lepas dari kritik. Beberapa filsuf, seperti John Stuart Mill, muridnya sendiri, berpendapat bahwa Bentham terlalu mekanistis dan mengabaikan kualitas moral dari kebahagiaan. Kritik lainnya datang dari filsafat deontologi, seperti Immanuel Kant, yang menilai bahwa keadilan tidak boleh diukur hanya dari akibatnya, tetapi juga dari niat dan kewajiban moral. Namun demikian, warisan Bentham tetap bertahan karena berhasil memberikan dasar praktis bagi pembentukan hukum dan kebijakan publik yang berpihak pada kesejahteraan umum.

Baca Juga : Teori Keadilan Menurut Aristoteles: Antara Kesetaraan, Kelayakan, dan Tujuan Moral dalam Kehidupan Sosial

Relevansi Pemikiran Bentham di Era Modern

Pemikiran Bentham sangat relevan dalam konteks hukum modern dan kebijakan publik.

Konsep the greatest happiness principle menjadi inspirasi bagi:

  1. hukum pidana modern (penentuan hukuman berdasarkan efek sosial),
  2. ekonomi kesejahteraan (welfare economics), dan
  3. analisis kebijakan berbasis manfaat (cost-benefit analysis).

Dalam konteks Indonesia, prinsip utilitarianisme Bentham tercermin dalam tujuan negara dalam Pembukaan UUD 1945, yakni “mewujudkan kesejahteraan umum”. Dengan demikian, keadilan bukan hanya soal hukum formal, tetapi juga tentang kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat luas.

(Gholib)

Referensi:

  1. Bentham, Jeremy. An Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Oxford: Clarendon Press, 1789.
  2. Bentham, Jeremy. The Theory of Legislation. London: Trübner & Co., 1830.
  3. Mill, John Stuart. Utilitarianism. London: Parker, Son, and Bourn, 1863.
  4. Hart, H.L.A. Essays on Bentham: Jurisprudence and Political Theory. Oxford University Press, 1982

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 533 kali