Artikel KPU Kab. Jayawijaya

Sahabat Nabi Ke-3: Utsman bin Affan Sang Khalifah Dermawan yang Menyatukan Umat dan Al-Qur’an

Wamena, Dalam sejarah Islam nama Utsman bin Affan adalah sosok teladan yang dikenal dengan kelembutan hati, kedermawanan luar biasa, dan keteguhan dalam menegakkan ajaran Islam. Sebagai khalifah ketiga setelah Umar bin Khattab, Utsman memainkan peran penting dalam memperluas wilayah kekuasaan Islam serta menyatukan umat melalui kodifikasi Al-Qur’an.

Baca Juga : Sahabat Nabi Ke-2: Umar bin Khattab Sang Amirul Mukminin Penegak Keadilan dan Simbol Kepemimpinan Islam

Latar Belakang: Dari Quraisy yang Terhormat hingga Sahabat Rasulullah

Utsman bin Affan lahir di Mekah pada tahun 576 M, dari keluarga Bani Umayyah salah satu suku terpandang di kalangan Quraisy. Ia dikenal sebagai pedagang sukses dan berakhlak mulia bahkan sebelum masuk Islam. Keislamannya bermula melalui ajakan sahabatnya Abu Bakar As-Siddiq, pada masa awal dakwah Rasulullah ﷺ. Setelah memeluk Islam, Utsman menjadi salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga (Al-‘Asyrah Al-Mubasyyarin bil Jannah). Rasulullah ﷺ juga menikahkan Utsman dengan dua putrinya secara bergantian Ruqayyah dan kemudian Ummu Kultsum hingga beliau dijuluki “Dzun Nurain” (Pemilik Dua Cahaya).

Peran Besar Utsman bin Affan dalam Islam

Selama masa kekhalifahannya (644–656 M), Utsman menghadapi berbagai tantangan politik dan sosial namun juga berhasil meninggalkan warisan besar bagi peradaban Islam.

  1. Kodifikasi Al-Qur’an: Menyatukan Umat dalam Satu Mushaf

Salah satu pencapaian terbesar Utsman adalah mengumpulkan dan menyusun Al-Qur’an dalam satu mushaf standar yang dikenal sebagai Mushaf Utsmani. Langkah ini dilakukan untuk mencegah perbedaan bacaan Al-Qur’an yang mulai muncul di berbagai wilayah Islam. Ia membentuk tim yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit, sahabat yang juga penulis wahyu di masa Nabi ﷺ. Keputusan ini terbukti sangat penting bagi persatuan umat Islam, dan Mushaf Utsmani hingga kini menjadi dasar teks Al-Qur’an di seluruh dunia.

  1. Ekspansi Wilayah Islam

Pada masa pemerintahannya, Islam meluas hingga Afrika Utara, Armenia, dan Azerbaijan. Angkatan laut Islam pertama dibentuk yang kemudian menaklukkan Siprus. Kebijakan Utsman memperkuat kekuasaan Islam di darat dan laut menjadikan umat Islam sebagai kekuatan besar dunia saat itu.

  1. Kedermawanan yang Tak Tertandingi

Utsman terkenal dengan sifat dermawannya. Saat kaum Muslim kekurangan air di Madinah, ia membeli sumur Raumah dari seorang Yahudi dan mewakafkannya untuk umat. Ia juga mendanai Perang Tabuk dengan membiayai 1.000 unta dan 50 kuda, serta menyumbang 1.000 dinar emas. Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada yang membahayakan Utsman setelah apa yang ia lakukan hari ini.” (HR. Tirmidzi)

Gaya Kepemimpinan Utsman: Lembut namun Tegas dalam Prinsip

Sebagai khalifah, Utsman dikenal lembut dan berhati-hati dalam mengambil keputusan. Ia mengutamakan musyawarah (syura) dengan para sahabat besar seperti Ali bin Abi Thalib dan Thalhah bin Ubaidillah. Namun kelembutannya kadang disalahartikan sebagai kelemahan. Di akhir pemerintahannya, muncul fitnah dan pemberontakan yang menjerumuskan umat pada perpecahan. Meski begitu, Utsman tetap berpegang pada prinsip damai dan menolak pertumpahan darah. Ketika rumahnya dikepung, Utsman membaca Al-Qur’an dan tetap sabar hingga wafat syahid pada 18 Zulhijjah 35 H (656 M). Darahnya menetes di atas mushaf ketika membaca ayat: “Maka Allah akan mencukupimu terhadap mereka...” (QS. Al-Baqarah: 137)

Baca Juga : Sahabat Nabi Ke-1: Abu Bakar Ash-Shiddiq

Warisan dan Nilai Teladan dari Utsman bin Affan

Kisah Utsman bin Affan mengajarkan banyak nilai penting bagi kehidupan modern:

  1. Kedermawanan dan keikhlasan dalam beramal tanpa pamrih.
  2. Persatuan umat di atas perbedaan, sebagaimana ia lakukan dalam penyatuan mushaf.
  3. Kesabaran dan keteguhan prinsip dalam menghadapi fitnah dan ujian kekuasaan.
  4. Musyawarah dan kebijaksanaan sebagai dasar kepemimpinan Islami.

Warisan Utsman tetap hidup hingga kini menginspirasi umat Islam untuk meneladani pemimpin yang sederhana, ikhlas, dan berorientasi pada kemaslahatan umat.

(Gholib)

Referensi:

  1. Al-Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. Ar-Raheeq Al-Makhtum (Sirah Nabawiyah). Riyadh: Darussalam, 1996.
  2. Shalabi, Ahmad. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2000.
  3. Haekal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: PT Bulan Bintang, 2002.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 1,994 kali