Korupsi dan Pengawasan dalam Era Otonomi Daerah
Wamena – Otonomi daerah yang mulai diterapkan secara luas di Indonesia sejak 2001 membawa harapan baru bagi pemerataan pembangunan, peningkatan demokrasi lokal, dan efektivitas pelayanan publik. Namun, di balik harapan tersebut, tantangan besar justru muncul: melebarnya ruang bagi praktik korupsi. Kewenangan besar yang dimiliki pemerintah daerah tidak selalu diikuti dengan pengawasan yang optimal, sehingga membuka peluang penyalahgunaan anggaran dan wewenang. Artikel ini mengulas secara mendalam dinamika korupsi dalam konteks otonomi daerah serta bagaimana mekanisme pengawasan dapat diperkuat untuk mendorong tercapainya pemerintahan lokal yang bersih dan akuntabel.
Mengapa Korupsi Masih Tinggi di Era Otonomi Daerah?
Meskipun otonomi daerah bertujuan memberikan kemandirian bagi daerah dalam mengatur kebutuhan warganya, kenyataannya banyak daerah justru terjebak dalam praktik penyalahgunaan anggaran. Salah satu penyebab utamanya adalah besarnya wewenang yang diberikan tanpa diiringi dengan kontrol yang memadai. Menurut penelitian Sasana (2013), terdapat korelasi antara besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan tingkat korupsi di pemerintah daerah. Provinsi-provinsi dengan PAD besar, seperti di Jawa Tengah, menunjukkan semakin kuatnya potensi korupsi dalam pengelolaan anggaran daerah karena adanya peluang lebih besar dalam pengadaan barang dan jasa.
Temuan lain dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa lebih dari 46% kasus korupsi di daerah terjadi dalam sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah, terutama pada proyek infrastruktur dan layanan publik. Di wilayah-wilayah tertinggal seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), tingginya angka korupsi bahkan menciptakan paradoks: daerah miskin yang juga menjadi sarang praktik ilegal akibat lemahnya kontrol terhadap aparatur pemerintah. Fenomena ini menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal tidak otomatis menekan praktik korupsi tanpa adanya pengawasan yang ketat.
Baca Juga : Perbedaan Pemerintah Pusat dan Daerah: Fungsi dan Kewenangannya
Peran Pengawasan & Good Governance dalam Mengendalikan Korupsi
Untuk mengatasi masalah ini, konsep good governance menjadi kunci. Pemerintahan yang baik menuntut adanya transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik, serta penegakan hukum. Menurut studi yang dipublikasikan di ResearchGate (2024), penerapan prinsip-prinsip good governance di tingkat daerah mampu menjadi benteng yang efektif dalam mencegah korupsi, dengan syarat adanya keterbukaan informasi dan akses publik terhadap proses pembuatan kebijakan.
Di dalam struktur pemerintahan daerah, pengawasan internal sebenarnya telah dilakukan oleh badan-badan seperti Inspektorat Daerah dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Namun, banyak laporan mengungkapkan bahwa masih terdapat keterbatasan sumber daya manusia dan sarana yang menyebabkan kinerja lembaga pengawas ini belum optimal. Selain itu, pengawasan eksternal yang dilakukan oleh DPRD, media, dan masyarakat sipil juga belum berjalan maksimal, terutama di daerah dengan literasi dan akses informasi publik yang rendah.
Strategi Penguatan Pengawasan untuk Otonomi Daerah yang Bersih
Menjawab tantangan ini, beberapa langkah dapat dilakukan untuk memperkuat pengawasan dan menekan potensi korupsi di daerah:
- Reformasi kelembagaan pengawas daerah, termasuk pemberdayaan dan pelatihan SDM Inspektorat agar mampu melakukan audit menyeluruh secara profesional dan independen.
- Penerapan sistem digitalisasi anggaran, seperti e-budgeting atau e-procurement, yang memungkinkan transparansi penuh dan meminimalisir interaksi langsung antara pejabat dan pihak swasta.
- Penguatan peran masyarakat dan media lokal dalam pengawasan anggaran melalui peningkatan literasi publik tentang hak akses informasi (UU KIP No. 14/2008).
- Kolaborasi antar lembaga pengawas, seperti BPK, KPK, dan BPKP, terutama melalui penyusunan standar pengawasan terintegrasi di era otonomi daerah.
- Penyempurnaan regulasi, terutama terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah serta sanksi yang tegas bagi pelanggar, termasuk pembinaan pasca penindakan.
Dengan menerapkan strategi-strategi ini, otonomi daerah dapat berjalan sesuai harapannya: mandiri, efektif, dan bersih dari korupsi.
Baca Juga : Kesenjangan Hasil Pembangunan Antarwilayah di Indonesia
Sumber :
- Sasana, H. (2013). Analisis Determinan Korupsi di Era Otonomi Daerah di Indonesia. Diponegoro Journal of Economics.
- Indonesia Corruption Watch (ICW). (n.d.). Otonomi Daerah NTT; Gurita Korupsi di Daerah Miskin.
- BINUS University. (2023). Korupsi di Tingkat Daerah: Meninjau Implementasi Otonomi Daerah Saat Ini.
- Kementerian Dalam Negeri. (2018). Desentralisasi dan Korupsi pada Pemerintah Provinsi Jambi.
- Andi, M. (2024). Otonomi Daerah dan Good Governance: Reformasi untuk Pemerintahan yang Bersih. ResearchGate.
- UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
- UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik