Kesenjangan Hasil Pembangunan Antarwilayah di Indonesia
Wamena - Kesenjangan hasil pembangunan antarwilayah di Indonesia tetap menjadi persoalan struktural, melihat kota megapolitan dengan jalan mulus dan PAD melimpah sampai pulau terpencil yang aksesnya bergantung pada kapal mingguan. fenomena ini nyata misalnya di wilayah pegunungan Papua dan kota seperti Wamena aksesnya sangat terbatas, fasilitas pendidikan dan layanan kesehatan yang kalah jauh dibanding kota besar. Ketimpangan ini bukan sekadar soal jumlah dana, melainkan berakar pada desain fiskal yang masih bersifat seragam, implementasi anggaran di daerah, serta tantangan spesifik daerah khusus seperti Papua Pegunungan.
Mengapa kesenjangan antarwilayah terus bertahan?
Kesenjangan hasil pembangunan antarwilayah di Indonesia masih terus bertahan karena beberapa faktor mendasar yang saling terkait. Pertama, pola pembangunan nasional sejak lama lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi di wilayah yang dianggap strategis, seperti Jawa dan Sumatra. Sebagai contoh, analisis menyebut bahwa provinsi-provinsi di “Indonesia Bagian Timur” memiliki kinerja IPM dan PDRB jauh di bawah “Indonesia Bagian Barat”. Akibatnya, wilayah-wilayah dengan tantangan geografis dan keterjangkauan rendah seperti wilayah pegunungan di Papua tertinggal dalam pembangunan infrastruktur dasar, pendidikan, dan layanan kesehatan. Keterbatasan akses fisik membuat roda perekonomian berjalan lambat dan berdampak pada rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM).
Selain itu, perbedaan kapasitas fiskal antar daerah turut memperlebar kesenjangan. Daerah dengan pendapatan asli daerah (PAD) yang rendah kesulitan mempercepat pembangunan secara mandiri, bahkan meskipun mendapatkan transfer dari pusat. Misalnya, data menunjukkan bahwa gap IPM antar provinsi masih besar: pada 2023, IPM DKI Jakarta mencapai 81,10 sedangkan di Papua hanya 60,78. Dalam konteks Papua Pegunungan, meskipun memiliki potensi alam melimpah, keterbatasan SDM dan infrastruktur pendukung membuat nilai tambah ekonomi sulit tercapai. Belum optimalnya implementasi kebijakan otonomi khusus dan adanya tantangan tata kelola pemerintahan daerah juga menjadi faktor yang memperlambat kesetaraan pembangunan antarwilayah di Indonesia.
Kondisi Papua studi kasus: otonomi khusus dan tantangan Papua Pegunungan
Papua mendapat otonomi khusus sejak UU No.21/2001 (diperbarui 2008 dan 2021) yang bertujuan mengakui adat, memberi kewenangan khusus, serta mengalokasikan penerimaan khusus untuk meningkatkan kesejahteraan Orang Asli Papua (OAP). PP Pelaksanaan (PP No.106/2021 dan PP No.107/2021) mengatur kewenangan dan tata kelola dana otsus. Namun implementasinya menghadapi tantangan besar: data OAP yang belum komprehensif, lambatnya penyusunan perda khusus, ketidaksinergian antar-institusi, dan kebutuhan perlindungan HAM semua faktor ini memengaruhi bagaimana dana dan kewenangan digunakan untuk mengatasi kesenjangan
Rekomendasi kebijakan — menuju pemerataan yang nyata
- Reformulasi transfer dengan komponen biaya geografis. Tambahkan kompensasi eksplisit pada formula DAU/DAK untuk daerah kepulauan dan pegunungan (biaya logistik, frekuensi layanan). Hal ini dapat diwujudkan lewat variabel tambahan atau faktor pengali pada celah fiskal.
- Implementasikan desentralisasi asimetris secara fiskal (tidak hanya politis). Berikan fleksibilitas kewenangan dan skema pembiayaan yang berbeda sesuai kapasitas dan kebutuhan lokal (mis. otonomi fiskal tambahan untuk wilayah khusus). Wacana ini sudah digaungkan praktisi kebijakan fiskal dan akademisi.
- Perkuat akuntabilitas & prioritas belanja daerah. Tetapkan indikator kinerja layanan dasar (pendidikan, kesehatan, akses) sebagai syarat penggunaan sebagian transfer, dan tingkatkan audit & pembinaan pusat-daerah agar belanja lebih pro-rakyat.
- Perkuat kapasitas lokal & optimalkan sumber daya daerah. Bangun kapasitas perencanaan, pengumpulan PAD (mis. PBB yang lebih akurat), serta pemberdayaan BUMD yang profesional untuk diversifikasi pembiayaan.
- Kontekstualisasi program untuk Papua Pegunungan. Program intervensi harus berbasis adat dan tipologi lokal (mis. dukungan layanan mobile kesehatan, sekolah komunitas, subsidi transportasi publik antar-pulau/distrik). Lakukan pendataan OAP kolaboratif dengan lembaga adat untuk dasar kebijakan yang sahih.
Sumber :
- Formula DAU — Kementerian Keuangan / DJPK: Formulasi DAU 2022.
- Kajian praktik DAU & kebutuhan fiskal — dokumen rumus DAU / rumus kebutuhan fiskal.
- Liputan diskusi KPPOD / Kompas (wacana desentralisasi asimetris, 22 Juli 2025).
- Setkab: Pengakuan Hak-hak Adat dalam Kebijakan Otonomi Khusus Papua; Tantangan dalam Implementasinya. (artikel penjelasan kebijakan otsus dan tantangan).
- BPS Provinsi Papua — publikasi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua Pegunungan, 2024/2025.
- PP No.106/2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua