Artikel KPU Kab. Jayawijaya

Sejarah Sumpah Pemuda: Pergerakan, Kongres, Simbol, Makna, dan Dampak untuk Bangsa Indonesia

Wamena, KPU Kabupaten Jayawijaya memandang bahwa tanggal 28 Oktober 1928 menandai salah satu momen paling signifikan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pada hari tersebut, sekelompok pemuda dari banyak wilayah dan organisasi berkumpul di Batavia (sekarang Jakarta) untuk menciptakan sebuah ikrar yang kini dikenal dengan nama “Sumpah Pemuda”. Ikrar ini bukan hanya sekadar pernyataan melainkan sebuah manifesto yang menegaskan persatuan nasional saat warga Nusantara pertama kalinya menyatakan diri sebagai satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa: Indonesia. “Kami anak-anak bangsa Indonesia, menyatakan darah kami satu, tanah air kami Indonesia.

Kami anak-anak bangsa Indonesia, mengakui bahwa kami bersatu dalam satu bangsa, yakni bangsa Indonesia. Kami anak-anak bangsa Indonesia, mengusung bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia”.

Baca Juga : Latar Belakang, Isi, Makna, dan Filosofis Sumpah Pemuda: Fondasi Persatuan Bangsa Indonesia

Konteks Sejarah: Dari Pergerakan Kedaerahan Menuju Nasionalisme

Awal abad ke-20 merupakan masa kebangkitan kesadaran nasional di daerah yang dikuasai Belanda.

Sebelumnya, perjuangan melawan kolonialisme cenderung bersifat lokal seperti Perang Diponegoro, Perang Padri, atau Perang Aceh. Namun, dengan perkembangan pendidikan dan munculnya organisasi-organisasi modern muncul kesadaran baru bahwa kebebasan hanya dapat diraih melalui persatuan nasional.

Di masa ini, lahir sejumlah organisasi pergerakan seperti:

  1. Budi Utomo (1908), berupaya memajukan pendidikan untuk pribumi.
  2. Sarekat Islam (1912), membangun solidaritas ekonomi dan politik di kalangan umat Islam.
  3. Indische Partij (1912), mengenalkan gagasan nasionalisme Hindia.
  4. Perhimpunan Indonesia (1925), membawa ide kemerdekaan ke panggung internasional.

Kesadaran kolektif ini berpuncak pada Kongres Pemuda II yang berlangsung pada tahun 1928, di mana semangat kedaerahan bergabung menjadi satu kesatuan bangsa Indonesia.

Kongres Pemuda II: Lahirnya Sumpah Persatuan

Kongres Pemuda II diadakan pada 27-28 Oktober 1928 di Batavia, diinisiasi oleh sejumlah organisasi pemuda seperti:

  1. Jong Java;
  2. Jong Sumatranen Bond;
  3. Jong Batak Bond;
  4. Jong Celebes;
  5. Jong Ambon; dan
  6. Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI).

Tokoh-tokoh penting dalam kongres ini mencakup:

  1. Sugondo Djojopuspito (ketua panitia);
  2. W. R. Supratman (pencipta lagu Indonesia Raya);
  3. Muhammad Yamin (perumus naskah Sumpah Pemuda); dan
  4. Amir Sjarifuddin, J. Leimena, dan R. Satiman Wirjosandjojo.

Kongres berlangsung selama dua hari di tiga lokasi berbeda:

  1. Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB) di Waterlooplein = pembukaan;
  2. Gedung Oost-Java Bioscoop = sesi kedua; dan
  3. Gedung Indonesische Clubhuis di Jalan Kramat Raya 106 = penutupan.

Di lokasi terakhir ini, naskah Sumpah Pemuda dibacakan dan diikrarkan dengan semangat nasionalisme yang tinggi. “Dari kongres ini, lahir satu bahasa, satu bangsa, dan satu tanah air Indonesia momen penting kesadaran nasional kita”. Ucap Muhammad Yamin, 1928.

Simbol Persatuan: Lagu “Indonesia Raya”

Pada penutupan Kongres Pemuda II, Wage Rudolf Supratman (W. R. Supratman) mempersembahkan untuk pertama kalinya lagu ciptaannya yang berjudul “Indonesia Raya”. Lagu ini segera diakui sebagai simbol perjuangan dan persatuan bagi bangsa Indonesia, serta dipilih sebagai lagu kebangsaan setelah Proklamasi 1945.

Supratman memainkan lagu ini dengan biola tanpa dilengkapi lirik, sebab pada masa itu pemerintah kolonial sangat ketat dalam mengawasi simbol-simbol nasionalisme. Lagu Indonesia Raya menjadi tanda lahirnya Indonesia sebagai sebuah gagasan yang dinamis bukan hanya sekadar wilayah yang terpeta.

Makna Filosofis Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda lebih dari sekadar dokumen sejarah; ia merupakan dasar ideologis bagi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tiga poin dari ikrar tersebut mencerminkan nilai-nilai dasar bangsa:

  1. Satu Tanah Air → menghilangkan batas-batas geografis yang ditetapkan oleh penjajah.
  2. Satu Bangsa → menegaskan keberadaan kesetaraan semua suku di Nusantara.
  3. Satu Bahasa → mengukuhkan bahasa Indonesia sebagai penghubung.

Berdasarkan Notonagoro dalam Pancasila: Dasar Falsafah Negara (1984), Sumpah Pemuda dianggap sebagai “tahap peralihan dari nasionalisme budaya menuju nasionalisme politik” yang menjadi landasan bagi munculnya cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Dampak Sumpah Pemuda terhadap Pergerakan Nasional

Setelah pengucapan Sumpah Pemuda, semangat persatuan semakin melebar di berbagai organisasi pergerakan.

Beberapa dampak pentingnya meliputi:

  1. Berdirinya organisasi berskala nasional, seperti Partai Nasional Indonesia (1927) dan Gerindo (1937).
  2. Peningkatan pemakaian bahasa Indonesia di media massa serta dalam dunia pendidikan.
  3. Terjalinnya solidaritas antara suku dan agama dalam perjuangan politik.
  4. Makin kuatnya gagasan tentang kemerdekaan Indonesia yang akhirnya terwujud pada 17 Agustus 1945.

Sejarawan Sartono Kartodirdjo (1982) menyebut Sumpah Pemuda sebagai “revolusi kultural” karena berhasil mengubah kesadaran rakyat dari “saya orang Jawa” menjadi “saya orang Indonesia”.

Baca Juga : Profil Lengkap Republik Indonesia: Sejarah, Bentuk Negara, dan Wilayahnya

Refleksi: Semangat Pemuda untuk Zaman Sekarang

Sumpah Pemuda senantiasa menjadi pengingat bahwa persatuan adalah kekuatan inti bangsa Indonesia. Di tengah tantangan modern seperti disinformasi, intoleransi, dan ketidakadilan sosial, nilai-nilai yang terkandung dalam Sumpah Pemuda tetap memiliki relevansi.

“Pemuda bukan hanya sekadar penerus bangsa, tetapi juga pelanjut cita-cita persatuan yang dibangun dengan semangat pengorbanan” Ucap Ki Hajar Dewantara. Generasi muda saat ini perlu memahami ulang Sumpah Pemuda dalam konteks digital dan globalisasi berjuang untuk keadilan sosial, kesetaraan, dan integritas nasional.

(Gholib)

Referensi:

  1. Yamin, Muhammad. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959.
  2. Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia, 1982.
  3. Notonagoro. Pancasila: Dasar Falsafah Negara. Jakarta: UI Press, 1984.
  4. Alfian. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1986.

 

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 102 kali