Artikel KPU Kab. Jayawijaya

Kotak Kosong Menang? Cermin Kekecewaan Publik terhadap Kandidat Tunggal

Wamena, KPU Kabupaten Jayawijaya memandang fenomena kotak kosong di pilkada kini menjadi gambaran menarik tentang demokrasi lokal di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat sejumlah kejadian di mana kotak kosong justru mengalahkan kandidat Tunggal sebuah ironi di negeri yang mengedepankan prinsip kedaulatan rakyat. Kotak kosong tidak hanya sekadar keunikan dalam politik tetapi juga merupakan cerminan mendalam mengenai krisis kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi yang dianggap sebagai formalitas semata. Di tengah semangat demokrasi elektoral, kemenangan kotak kosong menyampaikan pesan yang jelas yaitu masyarakat mendambakan pilihan yang berkualitas bukan pilihan yang dipaksakan.

Apa Itu Kotak Kosong?

Dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), kotak kosong berarti opsi tanpa ada pasangan calon. Hal ini diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 13 Tahun 2018 mengenai pencalonan dalam Pilkada. Apabila hanya ada satu pasangan calon yang lolos verifikasi, KPU tetap akan menyelenggarakan pemilihan dengan menyediakan dua kolom di surat suara:

  1. Kolom yang mencantumkan nama dan foto pasangan calon tunggal
  2. Kolom kotak kosong yang tidak memiliki gambar atau nama

Jika pilihan terbanyak jatuh pada kotak kosong maka pasangan calon dinyatakan kalah dan Pilkada harus diadakan kembali di periode berikutnya. Situasi ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya menerima kandidat yang “diberikan” tetapi memanfaatkan hak suaranya untuk menolak sebagai bentuk protes demokratis yang sah.

Baca Juga : Nepotisme Bentuk Jejak Kuasa yang Menggerogoti Keadilan dan Sistem Merit

Kemenangan Kotak Kosong: Fenomena Politik yang Mencengangkan

Kemenangan kotak kosong bukanlah hal yang baru. Beberapa daerah di Indonesia pernah mengalami kejadian ini, antara lain:

  1. Pilkada Makassar 2018, kotak kosong mengalahkan pasangan calon tunggal Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi dengan selisih suara yang mencolok.
  2. Pilkada Buton Tengah 2020 dan Pilkada Jayapura 2020 juga menunjukkan tren dukungan yang semakin meningkat terhadap kolom kosong.

Fenomena ini mengindikasikan bahwa masyarakat tidak hanya bersikap pasif dalam sistem demokrasi, melainkan secara aktif mengekspresikan penolakan terhadap dominasi kaum elite politik.

Menurut Syamsuddin Haris (dalam Demokrasi di Indonesia: Antara Demokrasi Elektoral dan Substansial, LIPI, 2014), kemenangan kotak kosong adalah “protes moral terhadap lemahnya rekrutmen politik” dari partai-partai yang gagal menyajikan calon alternatif.

Analisis Sosial-Politik: Antara Apatisme dan Kesadaran Demokrasi

Kemenangan kotak kosong dapat dilihat dari dua perspektif:

  1. Sebagai manifestasi apatisme publik, ketika masyarakat merasa tak ada calon yang benar-benar mewakili aspirasi mereka.
  2. Sebagai bentuk kesadaran politik, di mana pemilih menyadari haknya untuk menolak pilihan tunggal yang dianggap tidak mampu atau tidak layak.

Menurut Miriam Budiardjo dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik (2008), partisipasi politik sejati tidak hanya berkisar pada memilih, tetapi juga memiliki keberanian untuk menolak pilihan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan moral publik. Dengan demikian, kotak kosong tidak selalu mencerminkan ketidakpedulian masyarakat, melainkan merupakan penegasan hak politik mereka terhadap kualitas demokrasi.

Kandidat Tunggal: Di Antara Efisiensi Politik dan Penguasaan Kekuasaan

Kandidat tunggal muncul sebagai hasil dari ketidaksetaraan dalam kekuatan politik. Ketika semua partai berkolaborasi untuk mendukung satu kandidat (atau petahana), kemungkinan bagi calon independen untuk muncul menjadi sangat rendah. Sistem seperti ini menciptakan sebuah ilusi adanya demokrasi, seolah-olah masyarakat diberikan kesempatan untuk memilih padahal semua pilihan telah ditentukan sebelumnya.

“Kandidat tunggal merupakan tanda dari oligarki politik, di mana partai-partai kehilangan peran mereka sebagai perwakilan aspirasi Masyarakat.” Ucap Burhanuddin Muhtadi, Populisme dan Demokrasi Elektoral di Indonesia (2020). Dalam hal ini, kotak kosong berfungsi sebagai alat perbaikan sistemik, menunjukkan bahwa masyarakat tidak dapat dipaksa untuk setuju hanya karena tidak ada pilihan lain.

Dampak Sosial dan Politik dari Kemenangan Kotak Kosong

Beberapa konsekuensi yang muncul akibat kemenangan kotak kosong meliputi:

  1. Kekosongan kepemimpinan pada tingkat daerah, yang dapat berujung pada pemilihan kembali.
  2. Evaluasi menyeluruh terhadap cara rekrutmen politik di dalam partai.
  3. Peningkatan partisipasi masyarakat yang kritis, karena publik mulai sadar akan kekuatan suara mereka.
  4. Perubahan perilaku di kalangan elit politik, yang terdorong untuk lebih selektif dan transparan dalam pemilihan calon.

Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun kotak kosong terlihat sebagai “anomali demokrasi”, ia memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan.

Cermin dari Krisis Demokrasi Substansial

Jika dilihat dari sudut pandang filosofis, kemenangan kotak kosong dapat dipahami melalui konsep “hukum sebagai refleksi masyarakat” yang diusulkan oleh Eugen Ehrlich. Dalam konteks ini, suara rakyat mencerminkan keinginan akan keadilan sosial dan harapan akan pemerintahan yang bersih dan jujur. Seperti yang dinyatakan Hans Kelsen dalam Teori Hukum Murni, demokrasi sejati hanya dapat bertahan jika masyarakat memiliki pilihan yang bebas dan rasional. Tanpa adanya alternatif, pemilihan menjadi sekadar rutinitas yang tidak bermakna.

Baca Juga : Papua Noken System: A Unique Form of Democracy in the Land of Papua

Pesan Moral: Rakyat Tidak Bisa Dibungkam oleh Ketidakadilan

Fenomena kotak kosong sebetulnya adalah bentuk kritik dari masyarakat terhadap sistem yang membatasi partisipasi. Ini adalah bentuk musyawarah politik yang luas bukan dalam rapat parlementer tetapi di bilik suara.

Kemenangan kotak kosong menjadi pengingat bagi para elit politik bahwa kekuasaan tidak dapat diwariskan atau dibentuk melalui kesepakatan di meja perundingan partai, tetapi harus diperoleh melalui legitimasi dari publik. “Demokrasi adalah suara rakyat, bukan hasil kesepakatan para elit”. Ucap Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991).

(Gholib)

Referensi:

  1. Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 2008.
  2. Syamsuddin Haris. Demokrasi di Indonesia: Antara Demokrasi Elektoral dan Substansial. Jakarta: LIPI Press, 2014.
  3. Burhanuddin Muhtadi. Populisme dan Demokrasi Elektoral di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2020.
  4. Hans Kelsen. Pure Theory of Law. Oxford: Clarendon Press, 1960.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 10 kali