Cut Nyak Dhien: Srikandi Aceh yang Tak Gentar Melawan Kolonial
Wamena – Pada masa penjajahan Belanda Indonesia memiliki perempuan-perempuan tangguh yang gagah berani, salah satunya adalah Cut Nyak Dhien. Tokoh legendaris dari Aceh ini dikenal sebagai sosok pejuang yang memimpin perlawanan gerilya yang gigih melawan pasukan kolonial Belanda dalam Perang Aceh. Keteguhan dan semangatnya menjadi simbol perlawanan rakyat Aceh hingga akhir hayatnya.
Baca Juga : Profil Lengkap Republik Indonesia: Sejarah, Bentuk Negara, dan Wilayahnya
Profil dan Biografi Singkat Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien lahir sekitar tahun 1848 di Lampadang, Kerajaan Aceh. Ia dari keluarga bangsawan Aceh Besar. Ayahnya, Teuku Nanta Seutia, adalah seorang uleebalang (kepala pemerintahan daerah), dan ibunya juga berasal dari keturunan bangsawan. Sejak kecil, ia sudah dikenal dengan kecantikannya dan pendalaman ilmu agama.
Pada usia 12 tahun (sekitar tahun 1863), Cut Nyak Dhien dinikahkan dengan suami pertamanya, Teuku Cek Ibrahim Lamnga, yang juga putra dari uleebalang. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai seorang anak laki-laki. Teuku Ibrahim Lamnga gugur dalam pertempuran melawan Belanda pada tanggal 29 Juni 1878. Kematian suaminya ini membangkitkan amarah dan tekad kuat Cut Nyak Dhien untuk bersumpah menghancurkan Belanda.
Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah kembali dengan Teuku Umar, seorang tokoh pejuang Aceh yang cerdik. Dari pernikahan kedua ini, ia memiliki seorang putri bernama Cut Gambang. Bersama Teuku Umar, Cut Nyak Dhien semakin aktif dalam medan pertempuran. Setelah Teuku Umar gugur pada 11 Februari 1899 di Meulaboh, Cut Nyak Dhien memimpin perlawanan gerilya selama enam tahun lagi, meneruskan perjuangan suami-suaminya.
Perjuangan Melawan Belanda
Perjuangan utama Cut Nyak Dhien adalah melawan penjajahan Belanda pada masa Perang Aceh dan mengobarkan semangat perlawanan rakyat. Setelah suaminya yang pertama gugur, ia bertekad untuk ikut mengangkat senjata.
Bersama Teuku Umar, ia memimpin perang secara gerilya. Salah satu taktik yang terkenal adalah ketika Teuku Umar berpura-pura menyerah dan bergabung dengan Belanda (dikenal sebagai Het verraad van Teukoe Oemar atau Pengkhianatan Teuku Umar) pada tahun 1893. Strategi ini digunakan untuk mempelajari taktik perang Belanda dan, yang paling penting, mendapatkan pasokan senjata dan amunisi dari pihak kolonial. Setelah berhasil, Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien kembali berbalik melawan Belanda.
Meskipun kondisi fisiknya semakin melemah karena usia tua, Cut Nyak Dhien pantang menyerah. Ia bahkan tetap memimpin pasukannya di medan pertempuran. Perjuangan tanpa henti ini membuat Belanda kesulitan menguasai Aceh sepenuhnya.
Akhir perlawanannya terjadi ketika salah satu panglima perangnya berkhianat dengan melaporkan lokasi persembunyiannya di Beutong Le Sageu kepada Belanda. Cut Nyak Dhien akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat, pada 11 Desember 1906. Ia meninggal dunia pada 6 November 1908 di tempat pengasingan dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Fakta-Fakta Menarik
Keturunan Bangsawan: Cut Nyak Dhien lahir dari keluarga bangsawan yang taat beragama. Ayahnya adalah Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim.
Dijuluki "Ratu Aceh": Ia dijuluki "Ratu Aceh" dan merupakan sosok yang ditakuti oleh Belanda karena mampu mengobarkan semangat perlawanan rakyat Aceh.
Diasingkan ke Sumedang: Setelah ditangkap, ia diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat. Belanda merahasiakan identitasnya karena khawatir terjadi pergolakan di Aceh maupun di tempat pengasingan.
Dijuluki "Ibu Perbu" atau "Ibu Suci": Selama di Sumedang, ia ditempatkan di rumah pemuka agama dan sering berinteraksi dengan masyarakat. Ia sangat dihormati karena kerap memberikan pengajian dan mengajarkan ilmu agama, sehingga masyarakat menjulukinya Ibu Perbu atau Ibu Suci.
Makamnya Baru Ditemukan Tahun 1959: Lokasi makam Cut Nyak Dhien baru teridentifikasi dan ditemukan secara pasti pada tahun 1959 atas permintaan Gubernur Aceh kala itu, Ali Hasan.
Baca Juga : Dewi Sartika: Pelopor Pendidikan Wanita, Pahlawan Kemerdekaan Nasional dari Tanah Sunda
Dasar Hukum Pengesahan Pahlawan Nasional
Cut Nyak Dhien secara resmi diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dasar hukum pengesahannya adalah:
Keputusan Presiden Republik Indonesia (KEPPRES) Nomor 106 Tahun 1964 tentang Penetapan Tjut Njak Dhien Sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada tanggal 2 Mei 1964.
Cut Nyak Dhien adalah simbol keberanian dan keteguhan hati wanita Indonesia. Ia membuktikan bahwa duka mendalam atas kehilangan orang-orang terkasih dapat diubah menjadi semangat juang tak terbatas untuk membela bangsa dan tanah air dari penjajahan. Perjuangan gerilyanya yang militan dan semangatnya yang tak pernah padam menjadikannya Srikandi Aceh yang namanya akan selalu dikenang sebagai inspirasi kepahlawanan. (CHCW)
Sumber-Sumber
- Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 1964 tentang Penetapan Tjut Njak Dhien Sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, tanggal 2 Mei 1964. (Sumber hukum resmi)
- Tirto.id - Artikel "Biografi Cut Nyak Dhien: Sejarah Singkat Pahlawan Wanita dari Aceh" (Riwayat perjuangan, pernikahan, dan pengasingan).
- Liputan6.com - Artikel "Biografi Singkat Cut Nyak Dien, Pahlawan Nasional Wanita dari Aceh" (Detail masa kecil, pertemuan dengan Teuku Umar, dan penemuan makam).
- Tempo.co - Artikel "3 Fakta Cut Nyak Dhien di Sumedang, Mengajar Agama dan Disebut Ibu Suci" (Fakta menarik di masa pengasingan).
- Kumparan.com - Artikel "Sejarah Perjuangan Cut Nyak Dien sebagai Pahlawan Perempuan Indonesia" (Rincian taktik dan perjuangan melawan Belanda).