Artikel KPU Kab. Jayawijaya

John Stuart Mill Menemukan Keseimbangan antara Keadilan, Kebebasan, dan Kemanusiaan dalam Aliran Hukum Utilitarianisme Modern

Wamena, John Stuart Mill (1806–1873) diakui sebagai salah satu pemikir paling berpengaruh di bidang hukum dan moralitas modern. Ia merupakan penerus yang mengembangkan gagasan Jeremy Bentham mengenai hukum utilitarianisme dengan memberikan dimensi yang lebih mendalam pada aspek kemanusiaan serta keadilan sosial.

Baca Juga : Bahasa Papua: Kekayaan Budaya dari Tanah Cenderawasih

Latar Belakang Pemikiran dan Pengaruh Bentham

Sebagai pengikut utama pandangan Jeremy Bentham, Mill terpengaruh oleh ide bahwa hukum seharusnya bertujuan untuk menghasilkan kebahagiaan paling besar bagi sebanyak mungkin orang. Namun, ia menganggap bahwa pemikiran Bentham terlalu kaku dan bersifat kuantitatif yang hanya menilai tindakan berdasarkan seberapa banyak kebahagiaan yang dihasilkan tanpa menganalisis kualitas kebahagiaan itu.

Dalam karya terkenalnya “Utilitarianism” (1863), Mill menekankan bahwa tidak semua bentuk kebahagiaan memiliki nilai yang setara. Ia membedakan antara kesenangan tinggi, seperti yang bersifat intelektual, moral, dan spiritual, dan kesenangan rendah yang cenderung bersifat fisik. Mill berpendapat hukum perlu diarahkan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan materi masyarakat, tetapi juga untuk meningkatkan martabat serta kebebasan manusia.

Kebebasan Individu sebagai Prinsip Hukum

Salah satu sumbangan terbesar Mill bagi dunia hukum adalah pemikiran tentang kebebasan individu yang ia jelaskan dalam karyanya yang terkenal “On Liberty” (1859).

Mill menggarisbawahi bahwa hukum dan pemerintah tidak seharusnya menghalangi kebebasan individu, kecuali jika tindakan yang diambil tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Pandangan ini dikenal dengan istilah "prinsip tanpa merugikan orang lain".

Prinsip ini menjadi landasan penting dalam teori hukum liberal serta menjadi pedoman dalam pembuatan berbagai regulasi yang menjamin hak asasi manusia termasuk kebebasan berpendapat, menganut agama, dan mengekspresikan diri. “The only purpose for which power can be rightfully exercised over any member of a civilized community, against his will, is to prevent harm to others”. Ucap John Stuart Mill, “On Liberty” (1859)

Hukum, Moralitas, dan Keadilan Sosial

Berbeda dengan pandangan Bentham yang menilai hukum hanya dari segi utilitarian, Mill menambahkan unsur moralitas dan keadilan dalam konteks hukum. Ia berpendapat bahwa hukum yang baik tidak hanya bermanfaat bagi Masyarakat tetapi juga harus adil dari segi moral.

Ide-ide ini kemudian memberi pengaruh yang signifikan pada perkembangan asal-usul filsafat hukum modern yang bertujuan untuk mengintegrasikan utilitarianisme dengan hak asasi manusia, terutama selama abad ke-20.

Bahkan, pemikir hukum seperti H. L. A. Hart banyak memanfaatkan prinsip Mill untuk mendiskusikan keterkaitan antara hukum, kebebasan, dan moralitas kolektif.

Relevansi Pemikiran Mill dalam Konteks Hukum Modern

Dalam konteks hukum masa kini, pemikiran John Stuart Mill sangat penting untuk menghadapi tantangan global seperti perlindungan hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, dan keadilan sosial.

Konsep prinsip tanpa merugikan orang lain diterapkan secara luas dalam sistem hukum saat ini, termasuk dalam regulasi tentang kebebasan pers, privasi digital, dan hak-hak minoritas. Selain itu, pandangan Mill mengenai pentingnya keseimbangan antara kebebasan individu dan kepentingan masyarakat juga menjadi dasar bagi pembuatan kebijakan hukum demokratis di banyak negara, termasuk Indonesia.

(Gholib)

Baca Juga : Jeremy Betham Membedah Aliran Hukum Utilitarianisme yang Menempatkan Kebahagiaan Terbesar sebagai Tujuan Hukum

Referensi:

  1. Mill, John Stuart. Utilitarianism. London: Parker, Son, and Bourn, 1863.
  2. Mill, John Stuart. On Liberty. London: John W. Parker and Son, 1859.
  3. Hart, H.L.A. Law, Liberty, and Morality. Stanford University Press, 1963.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 159 kali